Judul : Sangakala di Langit Andalusia Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal : xii+472 hlm Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2 022 Cetakan : ke- 1 Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se
Pers
adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah
satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur
waktu terbitnya diperlengkap atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik
sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau
alat-alat tekhnik lainnya.[1]
Tahun
1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi
Gubernur Jendral VOC. Diterbitkan “Memories der Nouvelles”
merupakan surat kabar petama di Indonesia yang ditulis tangan. Kemudian tahun
1688 tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda, atas instruksi
pemerintah, maka diterbitkanlah surat kabar tercetak pertama di Indonesia dan
pada nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda
dengan Sultan Makasar. Kemudian terbitlah surat kabar-surat kabar lain yang diusahakan
oleh pemilik percetakan di beberapa tempat di Jawa[2].
Pers
pada masa itu bukan saja berfungsi sebagai penyampai berita ataupun sarana
komunikasi antara sesama tetapi juga pers di ciptakan dengan tujuan untuk
menegakkan penjajahan , menentang pergerakan rakyat juga melancarkan
perdagangan.
Perkembangan Pers pada masa
Kolonial
Pers
kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada
masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar berbahasa Belanda,
bahasa daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis
Belanda. Sejarah pers kolonial dimulai sejak zaman VOC, pers kolonial pertama
kali diperkenalkan dan dimiliki oleh bangsa Eropa, berbahasa Belanda dan berisi
tentang kehidupan orang-orang Belanda yang menjadi pembawa kepentingan
pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda sejak awal, mengatur
berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintah sendiri. Sampai akhir abad
ke-19, semua surat kabar menganut garis resmi pemerintah. Setiap surat kabar
harus disensor dulu sebelum diterbitkan. Pemeritah sendiri harus menyetujui
isinya terlebih dahulu sehingga terdapat pers resmi dan pers tidak resmi yang
tidak dicampuri oleh pemerintah.
Dr, De Haan
dalam bukunya, “Out Batavia” (G.kolf Batavia 1925), mengungkapkan secara
sekilas tentang dimulainya persurat kabaran di Indonesia , bahwa sejak abad 17
di Batavia sudah terbit sejumlah Koran dan surat kabar dikatakannya, bahwa
bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah diterbitkan sebuh Koran bernama kort
bericht Eropa (berita singkat di Eropa). Koran yang memuat sebagai berita dari
Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, di cetak
di Batavia oleh Abraham Van den Eede.
Perkembangan
Pers di Indonesia sejajar dengan berjalannya ekspansi bertahap Kolonialisme
Belanda itu sendiri. Ketika Verenigde Nederlandsche Geoctroyeerde
Oost-Indische Compagnie (VOC) menyadari manfaat pers untuk mencetak aturan
hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan percetakan
percetakan itu juga diprakarsai oleh para misionari Gereja Protestan Belanda
yang menggunakan pers untuk menerbitkan literature Kristen dalam bahasa daerah
untuk keperluan penginjilan[3].
Para
misionaris Gereja jugalah yang berusaha memperkenalkan percetakan
Hindia-Belanda dengan membeli sebuah mesin cetak dari Belanda pada 1624. Namun
tidak ada tenaga trampil yang menjalankannya sehingga mesin cetak itu nganggur
belaka. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pencetak untuk menertibkan kitab
keagamaan dan traktat-traktat, pengurus Gereja mengusulkan kepada pemerintah
pusat di Batavia untuk mencari dan menugaskan seorang tenaga operator trampil
dari Belanda. Numun upaya itu tidak terwujud sampai tahun 1659 sampai seorang
bernama Kornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi sebuah Tijkboek,
yakni sejenis alamak atau “buku waktu”[4].
Setelah itu
tidak ada percetakan hingga 1667, yaitu ketika pemerintah pusat berinisiatif
mendirikan sebuah percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik. Produk
pertama percetakan ini adalah Perjanjian Bingaya, yaitu perjanjian perdamaian
yang ditandatangani Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanudi di Makasar
pada 15 Maret 1668[5].
Dokumen ini dicetak oleh Hendrick Brant yang pada Agustus 1668 mendapat kontrak
mencetak dan menjilid buku atas nama VOC[6].
Menurut kontak itu, Brant mendapat upah 86 dollar, yang dibayarkan secara
mencicil, tapi percetakan tetaplah milik kompeni. Brant diberi hak sebagai
pencetak tunggal untuk Batavia dan VOC selama tiga tahun.
Setelah
kontrak dengan Brant berakhir pada 16 Februari 1671, VOC menandatangani kontrak
baru dengan Pieter Overwater dan tiga pegawai kompeni lainnya. Percetakan ini (
kontraknya berlaku hingga 1695) dinamakan Boeckdrucker
der Edele Compagnie (pencetak buku Kompeni).[7]
Setelah itu
nama-nama lain muncul sebagai pencetak. Namun tokoh yang paling penting adalah
seorang mantan pendeta, Andreas Lambertus Loderus, yang pada 1699 mengambil
alih percetakan itu untu digunakan secara maksimal. Banyak karya penting dalam
bahasa Belanda, Melayu, dan Latin lahir dari percetakannya, termasuk kamus
Latin-Belanda-melayu yang disusun oleh Loderus Sendiri[8].
Walaupun
percetakan di Batavia tersebut telah diberi kontrak untuk VOC, pemerintah pusat
tetap merasa perlu mendirikan percetakan sendiri di benteng (kasteel, kastil)
Batavia untuk mencetak dokumen-dokumen resmi. Percetakan ini baru terwujud pada
1718 setelah personel dan peralatannya tiba dari Belanda. Dengan berdirinya
percetakan pemerintahan ini, percetakan di Batavia tadi hanya diperbolehkan
mencetak pesanan swasta, sedangkan semua cetakan resmi diserahkan kepada
percetakan pemerintah.
Keberadaan dua
percetakan pada tahun-tahun pertama abad ke 18 itu menandakan bahwa percetakan
akan berperan penting di Hindia-Belanda dan akan secara tetap digunakan untuk”
menghemat tenaga penulis pengganda”. Namun sementara percetakan cukup aktif
mencetak dokumen dan buku-buku Kompeni untuk para pegawainya, tidak ada upaya
menerbitkan surat kabar sampai 120 tahun percetakan berdiri di Batavia[9].
Sebelum surat
kabar pertama muncul, sebuah laporan berkala para saudagar dalam tulis tangan Memorie
der Nouvelles telah beredar. Laporan berkala ini sebetulnya merupakan kompilasi
berita dan saripati surat-surat, semuanya menggunakan tulisan tangan. Laporan
ini diedarkan dalam bentuk lembaran pada kalangan pegawai VOC yang bertugas
jauh di pelosok, yang sangat haus akan berita. Penyebaran berita seperti ini
konon sudah ditempuh oleh Jan Pieterazoon Coeen pada 1615[10].
Baru pada 1744, dibawah pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van
Imhoff, surat kabar tercetak pertama lahir di Benteng. Nomor contoh surat kabar
itu Bataviase Nouvelles, muncul pada 8 Agustus 1744. Bataviase
Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas berukuran folio yang kedua
halamanya masing-masing berisi dua kolom. Pembaca diberi tahu bahwa mereka bias
mendapatkannya setiap senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan milik Kompeni
di Benteng[11].
Tidak hanya
membuat maklumat pemerintahan tapi surat kabar itu juga menyisipkan iklan yang
biasanya berisi pengumuman lelang. Hampir seluruh halamannya dipenuhi oleh iklan.
Koran pertama di Hindia-Belanda ini hidup selama dua tahun, koran ini menjadi
yang pertama kali dibreidel di Hindia-Belanda setelah dipaksa berhenti beredar
pada 7 Juni 1946 atas perintah Dewan XVII di Belanda yang merupakan pusat
kebijakan VOC. Alasannya karena pemberitaannya tentang perdagangan di
Hindia-Belanda dikhawatirkan akan dimanfaatkan para pesaing VOC di Eropa.[12]
Kemudian surat kabar pertama yang bersetuhan
dengan orang Indonesia adalah Vendu Nieuws, yang terbit pada 1776, tiga
dasawarsa setelah Bataviase Nouvelles. Yang diterbitkan ole L.
Dominicus, seorang pencetak di Batavia. Surat kambar ini sebetulnya merupakan media
iklan mingguan, terutama mengenai berita lelang. Dikenaloleh masyarakat
setempat sebagai “Soerat lelang”, Koran ini juga memuat maklumat penjualan
sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan.
Vendu
Nieuws merupakan surat kabar
terakhir yang terbit selama masa VOC. Penerbitannya berhenti pada 1809 masa
pemerintahan Jerman Herman Willem Deandels yang menjabat sebagai Gubernur yang
kemudian membeli percetakan sejak 1808 hingga 1811. Deandels membeli percetakan
kota dan menggabungkannya dengan percetakan Benteng menjadi Landsrdrukkerij
(Percetakan Negara) yang bekerja sampai pemerintahan Kolonial berakhir. Deandels
kemudian menertibkan media resmi pemerintah untuk mepublikasikan kegunaan
reformasi pemerintahannya di Jawa. Pada 15 Januari 1810 terbit edisi pertama
mingguan Bhataviasce Koloniale Courant di Btavia. Diterbitkan dalam
format kuarto lebar, Koran ini diasuh sejar 1788[13].
Kemudian pada
masa pemerintahan Inggris, terbit Koran resmi yang lain. Pada 29 Februari 1812,
pemerintah yang baru menerbitkan Jave Government Gazette, surat kabar
mingguan yang sebagian besar berbahasa inggris, dicetak oleh A.H Hubbard.
Isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Surat kabar inipun
memuat berita-berita dari Eropa dan berbagai artikel tentang kehidupan adat
istiadat masyarakat pribumi[14].
Tetapi surat kabar ini berhenti terbit setelah Belanda kembali berkuasa pada
1816, dan segera digantikan oleh Bataviasche Couran yang terbit pada 20
Agustus 1816. Dua tahun kemudian surat kabar ini berganti nama menjadi Javasche
Courant[15].
Disamping itu
juga para misionaris terus berusaha mendirikan percetakan setelah gagal pada
usahanya yang pertama, akhirnya pada 1743 Seminarium Theologicum di Batavia memperoleh
satu unut alat percetakan. Tahun 1755 percetakan itu dipaksa bergabung dengan
percetakan Benteng. Percetakan misionaris memiliki peranan penting dalam
penginjilan, terutama untuk mempublikasikan keputusan Kristen dan penerjemahan
Injil serta katekisma-katekisma keagamaan[16].
Dalam
koran yang diterbitkan oleh kaum kolonialis Inggris ini, dimuat juga
lelucon-lelucon yang menyindir pemerintah, misalnya dikatakan bahwa semua
hadiah-hadiah utama dalam undian yang diselenggarakan oleh pemerintah jatuh ke
dalam tangan pemerintah sendiri. Sulitnya mencari hiburan di masa ini,
menyebabkan kaum kolonialis mencari hiburan mereka dengan mengadakan
pesta-pesta, dimana budak-budak wanita turut meriahkannya. Dan untuk hal ini
koran memuat iklan-iklan yang menawarkan dapat dibeli misalnya “seorang budak
wanita, umur 30 tahun yang pandai menabuh alat harpa”.[17]
Percetakan
terus mengalami pekembangan. Percetakan misi lainnya yang aktif pada abad ke 19
meliputi sejumlah percetakan yang terdapat di AMBON, Tohoman, Tondano, Kupang
dan Banjarmasin. Dan lembaga misionaris aktif mencetak buku-buku keagamaan dan
kepustakaan gereja pada umumnya. Prioritas utama misionaris adalah menyebarkan
penertiban keagamaan dan buku-bukupendidikan untuk sekolah misi mereka[18].
Pers dan Pengaruhnya Terhadap VOC
Setelah kita
mengetahui bagaiman perkembangan pers pada masa Kolonial. Karena pers memiliki
peran penting bagi pemerintahan Kolonial terutama untuk kepentingan VOC.
Seperti yang telah dibahas sbelumnya pers masa colonial benyak berisikan Iklan
atau advertensie dari isi kapal yang dating di Batavia dari Eropa, atau juga
lelang dan berita perniagaan lainnya. Pers terbitan Belanda pada masa itu
merupakan pers resmi karena mewakili kepentingan VOC/Pemerintah Belanda. Karena
ada juga pers yang tidak resmi, yaitu yang dikelola oleh orang Belanda namun
pandangannya kerap tak sejalan dengan pandangan pemerintah Belanda. Surat kabar
Ini digunakan oleh sejumlah kalangan Belanda yang kritis terhadap kebijakan
Kolonial untuk menyiarkan kritik-kritik tersebut misalnya lewat surat kabar Bondsblad,
yang terbit pada 1897[19].
Karena seperti
yang telah kita ketahui, pers yang mulai dikenal pada masa Gubernur Jendral
Belanda Jan Pieter Zoon Coen yaitu pada masa VOC didirikan dengan tujuan yang
memberatkan masyarakat pribumi. Diantara tujuan itu adalah untuk menegakkan
penjajahan, menentang pergerakan rakyat dan juga melancarkan perdagangan[20].
Periode
kuartal abad ke 19 ini ditandai dengan munculnya percetakan milik swasta dan
tampilannya Koran yang diusahakan oleh swasta, seperti yang telah disinggung
diparagraf sebelumnya. Pada 1825, Landsdrukkerij menertibkan Bataviaasch
Advertentieblad di Batavia. Surat kabar lain berorientasi komersial, Nederlandsch
Indisch Handelsbland, juga terbit di Batavia pada 1829. Tetapi, penerbit
dan percetakannya tidak diketahui, kendati bisa dipastikan surat kabar ini
tidak dicetak di percetakan Negara[21].
Di Surabaya muncul surat kabar pertama dalam bentuk mingguan, Soerabayasche
Courant pada 1837, diperkirakan diterbitkan oleh C.F. Smith, yang sekitar
1834 membeli sebuah percetakan dari H.J. Domis, residen Semarang, Pasuruann dan
Surabaya antara 1827 dan 1834 sebelum pensiun dan pulang ke Belanda. Pada 1845,
di Semarang juga terbit mingguan media pengiklan dengan nama Semarangsch
Advertentieblad, yang pada 1852 berganti menjadi De Locomotief.
Samarangsch Advertentieblad ini menyaksikan terbitnya sebuah surat kabar
lagi yaitu Semarangsche Courant[22].
Kota-kota
besar pesisir di pulau Jawa misalnya Batavia, Semarang, dan Surabaya merupakan
kota yang banyak dikunjungi orang asing yang berkecimpung dalam berbagai
kegiatan ekonomi. Begitu juga kota pesisir yang berada di luar pulau Jawa
seperti, Padang, Medan, dan Makasar merupakan kota dagang utama yang menarik
orang asing. Populasi warga asing di pulau
Jawa terdiri dari warga Eropa, Tionghoa, Arab dan sebagian lainnya[23].
Maka orang-oang
tersebutlah yang menjadi pembaca surat kabar pada hari-hari pers di Hindia
Belanda. Pembaca surat kabar berbahasa Belanda adalah para pejabat, pedagang
dan warga sipil Eropa. Tetapi bagi warga Tionghoa pedagang dan pemukiman di
perkotaan, surat kabar perlu untuk mempromosikan kepentingan bisnis dan
perniagaan mereka, sehingga ketika surat kabar diperlukan untuk mempromosikan
kepentingan bisnis dan perniagaan. Dan ketika surat kabar berbahasa anak negeri
mulai muncul, merekalah yang mendukung sirkulasinya dengan menjadi pelanggan
bersama para priyai bergaji[24].
Pada akhir
abad 19 atau awal abad 20 pers yang membela kepentingan pribumi sendiri baru
akan muncul, seiring dengan adanya politik Etis (Etische Politieke) yang
memberikan kesempatan kepada para siswa berbakat untuk menempuh studi lanjut di
Belanda, dengan dukungan dana dari pemerintah Kolonial. Belakangan kebijakan
macam ini menghasilkan situasi yang berbalik, dimana para tenaga terdidik yang
tadinya diperkirakan akan bisa mengisi jalur birokrasi pemerintahan Kolonial,
tetapi malah menjadi semakin sadar dengan hak-haknya dan mlai menuntut soal
kemerdekaan tanah jajahan[25].
Untuk
menetralisir adanya pengaruh politik dari pers Indonesia, pemerintah Kolonial
memberikan subsidi kepada pers yang bersifat netral dan moderat, serta
memajukan Balai Pustaka. Sejak didirikan tahun1908 badan tersebut ditugaskan
untuk menyediakan bacaan bagi rakyat agar mereka menjadi warga Negara yang baik
dalam lingkungan politik pemerintahan Belanda[26].
Pers pada masa
VOC penyebarannya begitu dibatasi dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah Belanda terutama bagi Surat Kabar Pribumi, diantaranya,
dibatasi dan diancam dengan kitab Undang-undang hokum pidana. Pemerintah
melakukan Kontrol yang keras terhadap pers. Kemudian pemerintah Kolonial
mengeluarkan Haatzai Artikelen, yaitu undang-undang yang mengancam pers
apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan yang ‘menaburkan kebencian”
terhadap pemerintah[27].
Selain itu, Belanda juga mengeluarkan aturan yang bernama Persbreidel
Ordonantie, yang memberikan hal kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap
berbahaya. Semua peraturan ini mereka keluarkan untuk membendung pengaruh pers
Indonesia karena menganggap pers merupakan momok yang harus diperangi[28].
Sementara
Hanif Hoesain dalam tulisannya, “Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia”
mengatakan tekan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC
melalui berbagai bentuk aturan hokum. Pada tahun 1712 VOC melarang surat kabar
yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dam persaingan dagang
akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahunn 1856 diberlakukan Drukpers
Reglement dengan sensor preventif dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel
Ordonantie dengan sensor represif[29].
Rezim Politik
yang berkuasa yaitu pemerintah Belanda memandang pers sebagai alat untuk
melakukan propaganda. Karena itulah kehadirannya mesti dibawah pengawasan ketat
agar tak berbalik menyerang pemerintah. Bahkan pemerintah Kolonial mengeluarkan
Undang-undang pers tahun 1856 saat jumlah suratkabar di Hindia Belanda belum
juga lebih dari 10.
Watak represif yang melumpuhkan kritik scara efektif dari aturan-aturan
tersebut bisa terbaca dari ancaman-ancaman yang diterapkan bagi pers yang tidak
bersahabat. Salah satunya pelarangan penerbitan tulisan surat kabar Tijdschrift
voor Nederlansch-Indie, berisi kritik terhadap para bupati di Priangan.
Jika tetap diterbitkan, penulisnnya diancam dideportasi dari Hindia Belanda.
Sebelum tulisan terbit naskah memang harus dikirimkan dahulu kepada pemerintah
Kolonial[30].
Sejarh pers berbahasa daerah
di Indonesia dimulai ketika mingguan berbahasa Jawa, Bromartani meluncurkan
penerbitan perdananya pada 25 Januari 1855. Dipimpin oleh C.F.Winter Sr dan
putranya Gustaaf winter[31].
Surat kabar itu terbit setiap dari percetakan Hartevelt di Surakarta.
Lingkungan disekitarnya cukup menarik, begitu pula hal-ikhwal yang memicu
penerbitan surat kabar ini. Bromartani didirikan setelah UU tahun 1854
yang membayangkan kelonggaran peraturan
pers di Hindia diumumkan. Tatkala surat kabar itu terbit untuk pertama
kalinya, UU pers masih diperdebatkan oleh parlemen Belanda. Entah merupakan
respon terhadap janji “kemerdekaan” pers yang disiratkan pleh UU tahun 1854
atau sebuah kebetulan. Boromartani lahir ditengah pengharapan yang besar
akan liberalism pers hanya setahun sebelum UU pers 1856 diperkenalkan. Namun
ketatnya UU pers pada masa itu akhirnya tersusun, haruslah ditempatkan dalam
konteks masa itu. Ketika kritik kaum liberal terhadp system Tanam Panksa Van
den Bosch diangkat dang digaungkan oleh Pers swasta Belanda yang lahir di
Hindia Belanda[32].
Peraturan pers yang baru itu
dimaksudkan untuk mematahkan kritik terhadap pemerintah colonial tersebut.
Meskipun demikian, disbanding dengan periode sebelumnya ketika pemerintah tidak
menggubris dank arena itu yang bahkan tidak mengakui keberadaan pers, UU per
1856 yang baru mungkin dapat dianggap sebagai
suatu kemajuan. Sbelumnya pemerintah memiliki wewenang melarang barang
cetakan apa saja semaunya dan Gubernur Jendral berkuasa penuh mengusir siapa
saja yang dianggap mengancam keamanan VOC. Hal ini pun menyebabkan tak
seorangpun yang berani mengambil resiko menerbitkan suatu sebelum meminta izin
dari pemerintah[33].
Pers Indonesia pada saat itu
merupakan sarana untuk mencapai kemerdekaan. Melalui tulisan-tulisan di surat
kabar para kaum terpelajar menyampaikan gagasan-gagasannya. Bagaimana
terjajahnya Indonesia selama berabad-abad. Untuk membendung arus nasionalisme
tersebut, VOC juga tidak kehilangan akal. Mereka berusaha membuat
peraturan-peraturan yang menyulitkan bagi Indonesia. Berbagai macam sensor yang
pada akhirnya memangkas ide-ide para cendekiawan pribumi tersebut supaya tidak
tesebar luas.
Simpulan
Pers
kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda pada masa
penjajahan Belanda dan bertujuan membela kepentingan kolonialis Belanda. Pada
tahun 1624, VOC bekerjasama dengan percetakan Hendrick Brant menerbitkan Titboek
(almanak/buku waktu), Perjanian Bongaya, Literatur Penginjilan dan kitab
keagamaan lain. 8 Agustus 1744, muncul surat kabar Bataviasche Nouvelles dan
Buletin Memories der Nouvelles. 1770 muncul surat kabar kedua, Vendu
Nieuws. Kemudian 1810, muncul Bataviasche Koloniale Courant di
Jakarta, Surabaya dan Semarang. Dan pada
29 Pebruari 1812, muncul Java Government Gazette yang pada tahun 1816
diganti nama menjadi Bataviasche Courant. Selanjutnya surat kabar swasta
pertama muncul tahun 1831 yang dikelola oleh misionaris.
Pada
masa itu perkembangan sangat di awasi ketat oleh pemerintah Belanda. Karena
pers memiliki pengaruh kuat bagi perkembangan VOC pada masa itu.
Peraturan-peraturan pun diterapkan oleh VOC. Barulah pada sekitar abad 19 pers
yang berbahasa Indonesia terbit, pers juga digunakan oleh kaum berpendidikan
untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.
Daftar Pustaka
Ahmat, B
Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Indonesia (1855- 1913). Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Chijs,
J.A. van der. 1880. Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie
(1659-1870): Verhandelingen van
het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil ke 39. Batavia.
Encyclopaedae, Encyclopaedae van
Nederlandsch-Indie Cet 2. ‘s-Gravenhage: Nijhoff. Leiden: Brill.
Faber, G.H. von. 1930. A Short History of
Jurnalism in the Duct East Indies. Surabaya: Kolff.
Graaf, H.J de. 1969. Indonesia dalam Colin
Clair, The spread of Printing: Eastern Hemisphere. Amsterdam: Bangent.
Harry Poeze. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang
Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing
in Indonesia: 1602-1970. Indiana. (Desetasi, Indiana University).
Rahzen,T.,Dahlan,M. 2007. Seabad Pers Kebangsaan. Jakarta: Iboekoe.
Prakoso,
Djoko. 1988. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Setiadi, Hilmar Farid. 1991. Kolonialisme
dan Budaya Balai Pustaka dan Hindia Belanda dalam
Prisma. No. 10 (Oktober). Jakarta: LP3ES.
Wormser, C.W. (s.a)a. Drie en dertigjaren op
Java. Jil III: in het dagbladwezen. Amsterdam: W.ten Have. H.
Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September
2016 pada.
M, Kholil. 2010. Peranan Pers. Diakses
24 September 2016 pada https://halil4.wordpress.com/2010/01/11/bab-3-peranan-pers/
Reny, Triwardani.2010. Pembredelan Pers di
Indonesia dalam Prespektif Politik Media . Diakses
pada tanggal 23 september 2016. pada: http://www.google.com/jurnal-awal- pers.html.
Rojudin. 2012. Peranan Pers dalam
Masyarakat. Diakses pada 24 september 2016 di http://de- abils.mywapblog.com/peranan-pers-dalam-masyarakat.xhtml
Saur Hutabarat. Pers Partisan. Diakses
tanggal 24 September di https://docs.google.com/document/d/1f1iA_uOtpe74U2SbCiQkJ4m_dks qeg8-L5gckwhBb7k/edit
Wisnu, Prasetiya Utomo. 2015. Membredel Per
dari Masa ke Masa. Diakses 24 september 2016
pada http://pindai.org/2015/06/22/memberedel-pers-dari-masa-ke-masa/
[1]
Djoko Prakoso, Perkembangan Delik Pers di Indonesia. (Yogyakarta:
Liberty, 1988) hlm. 6
[2]
Reny, Triwardani.2010. Pembredelan Pers di Indonesia dalam Prespektif
Politik Media . pada: http://www.google.com/jurnal-awal-pers.html.
Diakses pada tanggal 23 september 2016
[3]Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[4]Graaf,
H.J de. 1969. Indonesia dalam Colin Clair, The spread of Printing: Eastern Hemisphere. Amsterdam:
Bangent, hlm 12.
[5]
Chijs, J.A. van der. 1880. Proeve eener Nederlandsh Indische Bibliographie
(1659-1870): Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en
Wetenschappen. Jil ke-39, 1 Batavia. Hlm 2.
[6]
Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970.
Indiana. (Desetasi, Indiana University). Hlm 13.
[7]
Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. (
Desertasi, Indiana University).hlm 16.
[8] Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[9]
Graaf, H.J de. 1969. Indonesia dalam Colin Clair. The Spread of Printing :
Eastern Hemisphere. Amsterdan: Bangent. Hlm 13.
[10]
Wormser, C.W. (s.a)a. Drie en dertigjaren op Java. Jil III: in het
dagbladwezen. Amsterdam: W.ten Have. Hlm.6
[12]
Rahzen,T.,Dahlan,M, Seabad Pers Kebangsaan. (Jakarta: Iboekoe, 2007), hlm. 5
[13]
Faber, G.H. von. 1930. A Short History of Jurnalism in the Duct East Indies.
Sourabaya: Kolff. Hlm 18.
[14]
Faber, G.H. von. 1930. A Short History of Jurnalism in the Duct East Indies.
Sourabaya: Kolff. Hlm 29
[15]
Graaf, H.J. e. 1969. Indonesia dalam Colin Clair: The Spread of Printing:
Eastern Hemisphere. Amsterdam: Bangent. Hlm 29
[16]
Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970.
Indiana. (Disertasi, Indiana University). Hlm. 19.
[17]
Ibid, hlm. 20
[18]
Ahmat, B. Adam. 2003. Sejarah
Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan (1855-1913). Yogyakarta. PT. Pustaka Pelajar. Hlm 11.
[19]
Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda
1600-1950, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, Khususnya pada Bab
“Nasionalisasi dalam Isolasi”
[20]Rojudin.
2012. Peranan Pers dalam Masyarakat. Diakses pada 24 september 2016 di http://de- abils.mywapblog.com/peranan-pers-dalam-masyarakat.xhtml
[21]
Chijs, J.A. van der. 1880. Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie
(1659-1870): Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen.
Jil ke 39. Batavia. Hlm. 59-61.
[22] Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[23]
Ahmat B, Adam. 2003. Sejarah Awal
Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913). PT. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. Hlm. 18.
[24] Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[25] Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[26]
Setiadi, Hilmar Farid. 1991. Kolonialisme dan Budaya Balai Pustaka dan
Hindia Belanda dalam Prisma. No. 10 (Oktober). Jakarta: LP3ES. Hal 23-46
[28] M,
Kholil. 2010. Peranan Pers. Diakses 24 September 2016 pada https://halil4.wordpress.com/2010/01/11/bab-3-peranan-pers/
[29] Saur
Hutabarat. Pers Partisan. Diakses tanggal 24 September di https://docs.google.com/document/d/1f1iA_uOtpe74U2SbCiQkJ4m_dks qeg8-L5gckwhBb7k/edit
[30] Wisnu,
Prasetiya Utomo. 2015. Membredel Per dari Masa ke Masa. Diakses 24
september 2016 pada http://pindai.org/2015/06/22/memberedel-pers-dari-masa-ke-masa/
[31] Encyclopaedae,
Encyclopaedae van Nederlandsch-Indie Cet 2. ‘s-Gravenhage: Nijhoff. Leiden:
Brill. Jil 4. Hlm 786.
[32] Iim, Imas. 2014. Awal Perkembangan Pers di
Indonesia pada Masa VOC. Diakses 23 September 2016 pada.
[33]
Ahmat B, Adam. 2003. Sejarah Awal
Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913). PT. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta. Hlm. 18.
Komentar
Posting Komentar