Judul : Sangakala di Langit Andalusia Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal : xii+472 hlm Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2 022 Cetakan : ke- 1 Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se
A. Poligami dalam Islam
Tidak
diragukan bahwa Islam menetap syari’ah poligami dengan kandungan hikmah yang
sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan masyarakat baik secara
langsung ataupun tidak. Dalam alQur’an surah Annisa Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.
Berdasarkan
ayat diatas, poligami hukumnya adalah halal. Kendati ayat tersebut menggunakan
ayat perintah namun perintah tersebut terdapat pada jawab syarat, yaitu jika
kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap anak yatim maka nikahilah
wanita-wanita lain yang kamu cintai. Kehalalan tersebut merupakan dispensasi
dari Allah guna mengatasi problem umat yang dari hari ke hari semakin berat dan
menuntut kaum pria untuk meningkatkan kerja agar dapat melindungi keluarga yang
lebih besar, baik yang berhubungan dengan masalah nafkah, pendidikan dan
lainnya. Dalam kondisi dimana kemaksiatan tersebar akibat jumlah wanita diatas
jumlah pria, maka piligami ini berfungsi untuk menyelamatkan umat[1].
Tidak
dihalalkan bagi seseorang untuk melakukan lebih dari empat orang pada saat yang
sama. Tinjauan historis empat orang istri bagi seorang suami bukanlah
penambahan akan tetapi pembatasan, karena pada waktu turun ayat tersebut ditemukan
banyak orang yang memiliki istri lebih dari empat. Maka Rosulallah menegaskan
kepada mereka agar dipilih dari jumlah tersebut empat orang dan yang lainnya
agar dicerai dengan cara baik. Bila ada pandangan lain tentang jumlah istri
maka hal tersebut muncul karena kekeliruan dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah
Rasulallah saw[2].
Sejak masa Rasulullah
SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum
Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
a.
Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan
perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu)
atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas
pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
b.
Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam
waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki,
pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di
atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami gaya
bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab.
c.
Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana
firman Allah, “kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs.
An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika
mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah
maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.
d.
Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri
adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas
kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap
istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
e.
Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I mensyaratkan
mampu member nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami. Persyaratan ini
berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian
itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar
tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”,
imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat
yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan
memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama)
maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah
bukan syarat putusan hukum.[3][6]
f.
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah
(dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang
poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh
berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur),
jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya
ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[4][7]
Orang
yang berpoligami dengan tanpa memiliki kemampuan dan persiapan untuk berlaku
adil tidak dibenarkan. Barangsiapa yang belum yakin dirinya akan mampu berlaku
adil maka dia tidak boleh menikah kecuali dengan seorang perempuan. Jika dia
nekad menikahi lebih dari satu orang maka nikahnya sah tapi berdosa[5].
Pakar
sejarah kaum muslimin dan orientalis barat sepakat bahwa Nabi Muhammad saw
berpoligami pada usia lanjut. Hal itu membuktikan bahwa poligami tersebut tidak
berlangsung kecuali karena tuntutan syareat dan kepentingan dakwah[6].
Sekiranya
Rasulallah beristri lebih dari satu karena tunturan hawa nafsu, mengapa tidak
beliau lakukan sejak usia muda? Disamping itu bukankah rosulallah pertama kali
menikah dengan seorang khadijah yang berumur lima belas tahun lebih tua
darinya, beliau juga tidak menikah dengan wanita lain kecuali setelah istrinya
wafat[7].
Menurut
Nasihin ‘Ulwan poligami yang berlangsung pada diri Rasulallah telah memaikan
peran penting dalam penyebaran risalahnya terutama dalam:
1.
Penyebaran Ilmu Islam
2.
Meraih dukungan Dakwah
3.
Membuktikan kesempurnaan syareat
4.
Merealisasikan prinsip bahu-membahu
5.
Memperkuat ikatan persahabata
Imam Al-Bukhari, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu
Katsir, meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki memelihara seorang
anak yatim yang mempunyai kemuliaan dan keluhuran. Kemudian ia menikahi anak yatim
tersebut dan tidak memberikan sesuatu kepadanya[9]:
عَنْ عَائِشَةَ رَظِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَجُلاً كَا
نَتْ لَهُ يَتِمَةُ فَنَكَحَهَا, وَكَا نَ لَهَا عَدْ قٌ وَكَا نَ يُمْسِكُهَا
عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مِنْ نَفْسِهِ سَى ءٌ فَنَزَ لَتْ فِيْهِ (وَاِنْ
خِتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتامَى) أخْسِبُهُ قَا لَ , كَا نَتْ
شَرِيْكَتُهُ ذَلِكَ العَذْ قِ وَ فِى مَا لِهِ
Artinya :
“Dari Aisyah R.A “Sesungguhnya seorang laki-laki
memiliki seorang perempuan yatim, lalu dia menikahinya, dan perempuan itu
memiliki adzq (pohon kurma). Dia sengaja menahannya karena harta itu, sementara
dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap perempuan tersebut. Maka turunlah, “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya)”. Aku kira beliau berkata, “Dia adalah sekutunya pada kurma dan
pada hartanya.”[10]
B. Alasan dan
Syarat Poligami
Pada
dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
a. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami
bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap
rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah
dan rahmah).
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan lain seperti:
1. Jumlah istri yang boleh
dipoligmi paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu diantaranya
ada yang meninggal atau diceraikan suami dapat mencari ganti yang lain asalkann
jumlah tidak melebihi empat orang pada waktu yang bersamaan. Sesuai
dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 3.
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ
فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا
تَعُولُواْ ٣
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. An-Nisa
: 3)
2.
Lelaki itu dapat berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Diwajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam
urusan pangan, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa
membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari
keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia
tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki. Bila
suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka,
maka ia diharamkan berpoligami. Bila sanggup dipenuhinya hanya tiga maka
baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak
dua istrinya maka baginya haram menikahi tiga orang. Begitupun apabila khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang
perempuan, maka haram baginya melakukan poligami. Hal ini sesuai dengan hadist
Nabi saw.[11]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ
فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang laki-laki memiliki dua istri, namun dia tidak berbuat adil, niscaya akan datang pada Hari Kiamat dengan keadaan miring (tubuhnya)." (HR. At-Tirmidzi, no. 1060)
C.
Poligami
Dalam Perspektif Hukum Positif
Ada
beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum
dari poligami antara lain:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang
berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut
sebagai berikut:
Ø Pasal 3 (1) Pada azasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang
isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Ø Pasal 4 (1) Dalam hal seorang
suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebuta dalam pasal 3
(2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila :
a) isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri.
b) issteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tak dapat disembuhkan
c) isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Ø Pasal 5 (1) Untuk mengajukan
permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri.
b) adanya kepastian bahwa suami
menjamin keperluan-keperluan hidup, isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c) adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud
pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974. Dalam PP No.9 Tahun 1975, yang
berkaitan dengan poligami adalah pasal 40, 41, 42, 43 dan 44.
c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1983 tentang izin perkawian dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No.10
Tahun 1983, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11.
d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1990 tentang Perubahan atas PP No 10 /1983 tentang izin perkawian dan Percraian
Pegawai Negeri Sipil.
Ø Dalam pasal 1 disebutkan bahwa
mengubah beberapa ketentuan dalam PP No 10 /1983, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3 (1) Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan
terlebih dahulu dari pejabat. (2) Bagi PNS yang berkedudukan sebagai penggugat
atau PNS yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan
secara tertulis.
(3)
Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan lengkap yang
mendasarinya:
Pasal 4 (1) PNS pria yang akan
beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2)
PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua /ketiga/keempat.
(3)
Perrmintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis
(4) Dalam surat permintaan dimaksud dalam ayat
(3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk
beristeri lebih dari seorang.
Pasal 5 (2) Setiap atasan yang
menerima permintaan izin dari PNS dalam lingkungannya, baik untuk melakukan
perceraian dan atau untuk beristeri lebih dari seorang, wajib memberikan
pertmbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin dimaksud.
Pasal 9 (1) Pejabat yang menerima
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) wajib
memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat
permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS yang bersangkutan.
e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Adapun
pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.
Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami bahwa
azas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, tetapi monogami
terbuka, sebab menurut pasal 3 (1) UU No.1/1974 dikatakan bahwa seorang suami
hanya boleh mempunyai seorang isteri begitu pula sebaliknya. Tetapi pada pasal
3 (2) UU No.1/1974 yang menyatakan bahwa “ Pengadilan dapat memberi izin kepada
seseorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya ayat (2) ini berarti undang-Undang
ini menganut azas monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan
dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan
pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada suami yang beristeri
lebih dari seorang apabila cukup alasan-alasannya (lihat pasal 4 ayat (1 dan 2)
UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai berikut:
a)
Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b)
Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan dan
c)
Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi
seorang suami yang yang mempunyai isteri masih hidup, tetapi ternyata tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, misalnya tidak dapat mendampingi
dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dengan baik, mengurus dan
mendidik anak-anaknya dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya
dari makziat, begitu pula jika isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, gila, ,
lepra yang susah disembuhkan, apatalgi jika isteri tak mendapatkan keturunan.
Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih dari seorang dengan
mengajukan permohonan kepada pengadilan.[12]
D. Poligami sebagai Alternatif
Poligami
dalam kehidupan masyarakat kita sering dipandang sebagai suatu problem yang
sangat ditakuti kaum wanita. Padahal justru karena tidak diterapkannya sistem
poligami maka problem terus meningkat dikalangan kaum wanita. Namun amat mengherankan
karena justru problem ini tidak ditakuti walaupun telah membuat banyak wanita
menderita. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman makna dan sasaran
poligami serta kurangnya persiapan bagi yang melakukannya[13].
Bertambahnya
jumlah wanita melebihi jumlah pria merupakan relita sosial yang disaksikan di
semua negara meskipun sedang tidak dilanda perang. Statistik di beberapa negara
telah membuktikan bahwa kelahiran seorang anak laki-laki dibarengi dengan
kelahiran lebih dari dua orang anak perempuan. Dalam kondisi seperti ini maka
poligami sangat diperlukan[14].
Ketika statistik
telah membuktikan bahwa jumlah wanita jauh lebih banyak dari jumlah pria, maka
poligami merupakan suatu keniscayaan demi terpeliharanya moral wanita. Dengan
ini wanita tidak akan terjerumus pada kemaksiatan karena mereka akan menjadi
ibu yang sah.
Ketika
populasi wanita semakin banyak dan melebihi jumlah pria. Baik karena jumlah
kelahiran yang banyak atau karena banyak janda yang ditinggal suami akibat
korban perang, kaum wanita di masyarakat akan mengalami problem yang sangat
serius. Maka alternatifnya dengan poligami[15].
Kondisi
istri yang dalam keadaan mandul sementara suami sangat berharap untuk memiliki
keturunan. Kondisi ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan mengambil
salah satu dari dua alternatif yaitu: a. mengganti istri dengan cara
menceraikannya, b. poligami. Maka seorang istri akan lebih memilih poligami
karena tentu dia tidak dingin bercerai dan menjadi janda[16].
Poligami
adalah perjuangan Islam untuk melindungi keselamatan kaum wanita. Sebagaimana
perjuangan lain yang tidak akan mencarai hasil yang diharapkan kecuali dengan
mengikuti sunnah Rasul. Maka demikian pula dengan poligami, akan mencapai hasil
yang diharapkan apabila mengikuti sunnah Rasul. Bukan pada sisi jumlah
istrinya, tetapi dari segi niat, cara dan tanggung jawab dalam segala aspek
kehidupan.
Poligami
bertujuan untuk mengatasi problem umat berupa kemaksiatan yang telah merusak
banyak umat dan mengancam generasi mendatang. Maka masalah yang mendasar bagi
pembicaraan tersebut adalah bahaya yang mengancam akidah dan merusak akhlak
yang sangat memerlukan pemikiran yang serius dan gerakan yang kontinyu[17].
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan
poligami sebagai alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran
kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang menganggu ketenangan
batinnya agar tidak sampai jatuh kelembah perzinaan maupun pelajaran yang
jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah
menghindari agar suami tidak terjerumus kejurang maksiat yang
dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi(
poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.[18]
Syarat
adil yang diberikan Allah pada surah An-nisa dalam paparan teori mungkin saja terwujud.
Namun, dalam tataran praktis, syarat itu sangat sulit terwujud. Perlakuan tidak
adil tersebut pasti terjadi diantara istri-istri. Maka, seolah-olah agama
memasang syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi, agar manusia tidak
sembarangan melakukan poligami[19].
Kebolehan
poligami hanya merupakan solusi ketika tujuan pernikahan sudah tidak terpenuhi.
Poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang mengumbar hawa nafsu, apalagi
dijadikan sebagai cita-cita hidup. Selama ada tujuan kemaslahatan,
kesejahtraan, dan kerukunan rumah tangga terpenuhi poligami bisa diamini dengan
kata lain pintu poligami tertutup, tapi tidak terkunci.
E. Kontroversi dari Poligami
Memang
cukup sensitive jika persoalan manusia dihadapkan dengan pasangan hidup.
Perempuan pada umumnya menolak kebolehan hokum poligamu karena dianggap tidak
adil. Banyak wanita yang menderita karena suami yang ingin beristri lebih dari
satu. Ikatan perkawinan yang penuh mawaddah wa rahmah, dengan adanya
poligami, ikatan perkawinan yang dicita-citakan tersebut sulit atau bahkan
tidak akan tercapai. Sekejam itukah pooligami? Kehidupan yang pada mulanya
bahagia laksana surga, gara-gara poligami tiba-tiba berubah menjadi neraka[20].
Ulama
kontemporer seperti Muhammad Abduh menyatakan bahwa poligami hukumnya tidak
boleh. Pada dasarnya, kelompok ini berpendapat bahwa hukum poligami itu boleh
asal suami dapat berlaku adil. Yang menjadi persoalan adalah, zaman sekarang
sangatlah sulit bahkan tidak ada orang yang dapat berlaku adil kepada
istri-istri mereka. banyak orang yang berpoligami meninggalkan istri pertamanya
dan juga anak-anaknya. Istri muda lebih mereka cintai diatas segalanya. Dalam
kondisi seperti ini jelas istri tua sangat dirugikan[21].
Dari
surat An-nisa ayat 4, sebetulnya ayat itu diturunkan untuk melarang orang-orang
menikah lebih dari empat, bukan membolehkan apalagi sampai menganjurkan
poligami. Jadi, tujuan ayat itu bukanlah perintah, tapi larangan untuk menikah
lebih dari empat. Ketika mengomentari ayat ini Ibnu Abbas mengatakan,
sebagaimana kamu takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim, maka
jika kamu menikah lebih dari satu, kamu juga harus takut jika tidak bisa
berbuat adil kepada para istrimu. Karena itu, menurut Imam At-Thabari, ayat ini
tidak bisa dipahami sebagai legitimasi apalagi perintah untuk melakukan
poligami. Tetapi harus dipahami sebagai larangan tidak berbuat adil kepada anak
yatim dan istri-istri mereka[22].
Kemudian,
Hadis “….amsik arba’an wa fariq sairuhunna…” harus diartikan, bukan
sebagai anjuran untuk beristri empat. Kalau benar anjuran, mesti banyak sahabat
yang mempraktikan poligami. Kenyataannya mereka banyak yang tidak melakukan
poligami. Perintah itu hanya ditujukan kepada orang-orang yang telah melakukan
poligami. Mereka yang beristri satu atau yang belum menikah tidak masuk pada
sabda Nabi tersebut. Bahkan ada indikasi kalau Nabi melarangnya. Sebagaimana
yang terjadi pada saat orang Islam mendapatkan tawanan, diantaranya adalah
Zainab bint Abi Jahal. Ali mencoba meminangnya. Mendengar berita itu, Fatimah
marah kepada Ali. Kemudian Ali menjawabnya “siapa yang akan menikah lagi?”.
Tidak puas dengan jawaban Ali yang terkesan apologis, Fatimah mengadu kepada
ayahandanya. Setelah mendapat keluhan putrinya, Nabi mengulimatum Ali “Ikhtar
baina Fathimataini, baina bintiy Fathimata wa baina Zainab binta Abi Jahlin, wa
Allahi laa…”. Sampai disini Nabi sepertinya bingung. Karena pada dasarnya
siapapun tidak akan bisa menerima adanya poligami, atau dimadu. Ini adalah
karakter, watak yang bersifat asasi. Berdasarkan hal tersebut Islam ingin
memberikan tanda merah untuk poligami[23].
Dari
beberapa pertimbangan ini, tampaknya al-Qur’an tidak menjelaskan hukum
poligami. Apakah haram, mubah, sunnah atau malah wajib. Ayat al-Qur’an surat
An-nisa ayat 3 tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi kebolehan poligami.
Konteks ayat tersebut tidak membicarakan kebolehan ini. Kalau begitu, berarti
masih ada peluang untuk berijtihad mengenai hukumnya. Untuk memutuskan kita
harus melihat realitas yang ada di masyarakat. Sejauh mana dampak yang
ditimbulkan poligami, apakah manfaatnya tidak jauh dari madharat yang
ditimbulkannya. Apa motivasi seseorang untuk melakukan poligami, apakah hanya
untuk melampiaskan hawa nafsunya atau mempunyai tujuan sosial dan kemanusiaan.
BAB III
SIMPULAN
Tidak
diragukan bahwa Islam menetap syari’ah poligami dengan kandungan hikmah yang
sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan masyarakat baik secara
langsung ataupun tidak.
Perempuan
pada umumnya menolak kebolehan hukum poligami karena dianggap tidak adil. Banyak
wanita yang menderita karena suami yang ingin beristri lebih dari satu. Ikatan
perkawinan yang penuh mawaddah wa rahmah, dengan adanya poligami, ikatan
perkawinan yang dicita-citakan tersebut sulit atau bahkan tidak akan tercapai.
Sekejam itukah poligami? Kehidupan yang pada mulanya bahagia laksana surga,
gara-gara poligami tiba-tiba berubah menjadi neraka.
Kebolehan
poligami hanya merupakan solusi ketika tujuan pernikahan sudah tidak terpenuhi.
Poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang mengumbar hawa nafsu, apalagi
dijadikan sebagai cita-cita hidup. Selama ada tujuan kemaslahatan,
kesejahtraan, dan kerukunan rumah tangga terpenuhi poligami bisa diamini dengan
kata lain pintu poligami tertutup, tapi tidak terkunci.
Poligami
dalam kehidupan masyarakat kita sering dipandang sebagai suatu problem yang
sangat ditakuti kaum wanita. Padahal justru karena tidak diterapkannya sistem
poligami maka problem terus meningkat dikalangan kaum wanita. Namun amat
mengherankan karena justru problem ini tidak ditakuti walaupun telah membuat
banyak wanita menderita. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman makna dan
sasaran poligami serta kurangnya persiapan bagi yang melakukannya.
[1]
K.H. Saiful Islam Mubarak. Poligami yang didambakan Wanita. Hlm 31
[2]
Ibid, hlm 32
[3] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita
Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam
Offset, 2004) hal. 42-45
[4] Ibid. hal 200
[5]
Ibid, hlm 33
[6]
Ibid, hlm 37
[7]Ibid,
hlm 38
[8]Ibid,
hlm 42
[10] Hasbi
Ash-Shidieqy, Tafsir
Al-Qur’anul Majid
An-Nur jilid 4, cet. 2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1995) hal. 3073
[11] Sohari Sahrani Tihami, Fiqih Munakahat :
Kjian Fiqih Nikah Lengkap, hal.31
[12] Muhammad saleh Ridwan, “Ar-Risalah,”
Poligami di Indonesia, 2 (Nopember,2010), hal. 371-374
[13]
Mubarak,
Saeful Islam. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Bandung: PT Syamil
Cipta Media. Hlm 17
[14]
Mubarak,
Saeful Islam. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Bandung: PT Syamil
Cipta Media. 18
[15]
Mubarak,
Saeful Islam. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Bandung: PT Syamil
Cipta Media. Hlm 79
[16]
Mubarak,
Saeful Islam. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Bandung: PT Syamil
Cipta Media. Hlm 20
[17]
Mubarak,
Saeful Islam. 2003. Poligami yang Didambakan Wanita. Bandung: PT Syamil
Cipta Media.hlm 83
[19]
Fiqh
Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 353
[20] .Fiqh
Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 344
[21]
Fiqh
Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 348
[22]
Fiqh
Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 349
[23]
Fiqh
Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 351
Komentar
Posting Komentar