Langsung ke konten utama

Resensi Novel Sangkakala di Langit Andalusia -- Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

  Judul               : Sangakala di Langit Andalusia Penulis              : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal                : xii+472 hlm Penerbit            : Republika Tahun Terbit     : 2 022 Cetakan            : ke- 1   Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat   yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se

POLITIK ETIS HINDIA-BELANDA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan kekerasan untuk mengejar keuntungan yang berlimpah, ternyata tidak diterima baik oleh semua orang Belanda. Penderitaan rakyat yang tiada taranya karena pengorbanan tenaga, waktu, milik, bahkan martabatnya, untuk kepentingan penjajah asing, telah menggugah hati nurani sekelompok orang Belanda. Mereka melancarkan kritik terhadap eksploitasi rakyat Indonesia yang berlebih-lebihàn itu.
Keberadaan humanis sebagai pengawas praktek kolonial membuat pemerintah tidak leluasa menjalankan kebijakannya. Sehingga pada tahun 1899 pemerintah Hindia Belanda mengalami kebangkrutan bahkan memerlukan pinjaman sebesar 100 juta untuk menutupi defisit. (Vlekke: 1961; 371). Selain itu penyimpangan pada politik kolonial menimbulkan perlawanan-perlawanan oleh pribumi misalnya saja Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh ( 1874-1904) dan Perang Padri (1831-1839) yang menekan kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Keadaan ini menghambat berjalannya roda pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara. Dengan demikian akhirnya tuntutan dan ide yang bersifat humanistik untuk memperhatikandan memperbaiki nasib rakyat pribumi akhirnya mulai dipikirkan oleh pemerintah saat itu.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang munculnya politik etis?
2.      Apa makna dari politik etis?
3.      Bagaimana pengaruhnya terhadap kaum nasionalis Indonesia?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui Latar belakang munculnya politik etis.
2.      Mengetahui Makna politik etis.
3.      Mengetahui Pengaruhnya terhadap kaum nasionalis Indonesia.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Munculnya Politik Etis
Krisis ekonomi tahun 1885 segera menghapus harapan awal kaum liberal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan karenanya perusahaan-perusahaan mulai bergabung sehingga struktur ekonomi tidak lagi individual, malahan secara definitif menjadi kapitalis. Sejak sekitar 1895 Hindia-Belanda menghadapi depresi yang lain. Sementara itu kepentingan-kepentingan baru mulai mempengaruhi politik kolonial Belanda, uapah-upah yang rendah jelas menguntungkan penguasa perkebunan dan mereka-mereka yang berkepentingan terhadap ekspor tanaman perdagangan tropis, namun sangat merugikan kepentingan rakyat yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat. Maka pada tahun 1902 Ratu Belanda membentuk Mindere Wehaarts Commissie yang bertugas untuk menyelidiki sebab-sebab menurunnya kesejahteraan rakyat. Ini menandai dari politik liberal menuju apa yang oleh Belanda di sebut dengan politik etis[1].
Politik etis lebih mengakar pada masalah kemanusiaan. Kritik-kritik terhadap pemerintahan Belanda sebagai dilontarkan dalam buku Max Havellar (1860). Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi beban penderitaan rakyat Indonesia dan Jawa khususnya, dan pada akhir abad XIX mulailah suatu politik kolonial baru. Selama masa liberal
(1870-1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri-industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial, sehinnga standar hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh sebab itulah, maka kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mewujudkan ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Pihak yang beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan oleh kalangan para pengusaha itu, maka lahirlah politik etis.[2]
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:
- Era politik konservatif (1800-1848) : era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
- Era culturstelsel (1830-1870) : era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.
- Era politik liberal (1850-1870) : era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.
- Era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) : era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
- Era politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia[3].
Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indoensia. selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksnakan yiatu :
- Golongan Misionaris : 3 partai kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.
- Golongan Konservatif : menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan orang-orang yang terbelakang[4].
Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban moral.
kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk. Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99 % penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada ketidaksejahteraan pribumi.
Maka tak mengherankan jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate (pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama mereka.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
·         Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
·         Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
·         Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda[5].
B.     Makna Politik Etis
Gagasan dasar politik etis bersal dari tulisan C. Th van Deventer yang dimuat dalam de Gids pada 1899 yang berjudul ‘’Een Eereschuld’’ yang berarti hutang budi. Dalam tulisan itu di kemukakana antara lain bahwa kemakmuran negri Belanda diperoleh karena kerja dan jasa rakyat Indonesia. Bansa Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral haruslah membayar hutang itu dengan menyelenggarakan trilogi atau trias: irigasi, emigrasi dan edukasi.
Tampaknya Pemerintah Belanda menanggapi pandangan van Deventer tersebut dengan menyampaikan gagasan pembaharuan sebagai tercermin dalam pidato Ratu Wilhemina yang berjudul ‘’Ethische Richting’’ (Haluan Etis)[6]
Dewasa ini perlu diketahui bahwa awal mula sebelum dilaksanakannya system politik etis di Indonesia,kondisi dan keadaan ekonomi serta sosial masyarakat Indonesia masih sangat buruk dan jauh dari kata sejahtera, khususnya untuk pendidikan pribumi yang bukan dari golongan kaum bangsawan.
Dalam hal ini kondisi pendidikan bukan menjadi baik namun malah sebaliknya, kondisi pendidikan semakin memburuk dan kebutuhan akan pendidikan bagi kalangan masyarakat pribumi semakin berkurang. Dilihat dari aspek ekonomi, tanah-tanah milik rakyat yang masih sangat luas kemudian dikuasai oleh para bangsawan/pemerintah Belanda dan penguasa tradisional, sehingga menyebabkan para pemilik tanah (rakyat) hanya menjadi penyewa dan penggarap.
Padahal jika diperhatikan tanah tersebut merupakan tanah milik mereka sendiri. Dari aspek politik,muncul permasalahan yang cukup kompleks dan berkembang saat ini,yaitu adanya sentralisasi politik yang cukup kuat sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara pemisahan kekuasaan dan keuangan yang mana dalam hal ini adalah antara pemerintah Belanda dan pihak Pemerintah Indonesia yang berdampak pada tidak sejahteranya kondisi masyarakat Indonesia.
Kondisi seperti ini lah yang kemudian dapat menarik simpati dari golongan sosial democrat yang didalangi oleh Van Deventer. Dan kemudian ia diberikan julukan sebagai bapak pangeran etis yang mana menginginkan adanya balas budi untuk bangsa Indonesia.Seiring berjalannya waktu, kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin memburuk, meskipun sudah diterapkannya system politik etis yang mana dipelopori oleh Van Deventerr sebagai sebuah bentuk balas budi terhadap bangsa Indonesia.
Namun pada realita yang ada menunjukkan bahwa pelaksanaan system politik etis belum sepenuhnya menguntungkan pihak masyarakat Pribumi. Meskipun disisi lain masyarakat pribumi dapat merasakan sedikit perubahan yang ada setelah diterapkannya politik etis tersebut. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pribumi semakin memburuk inilah yang memicu munculnya sikap kesadaran akan nasionalisme dalam upaya melepaskan belenggu penjajahan yang ternyata dapat dilakukan melalui cara baik seperti penerapan politik etis tersebut. Terbentuknya kesadaran nasionalisme bukan hanya didorong dari adanya perkembangan politik colonial Belanda saja,namun juga karena faktor lain seperti penderitaan yang dialami oleh masyarakat pribumi[7].
Adanya ketidakadilan, kemiskinan, diskriminasi, pembodohan, yang terjadi di Indonesia ternyata diamati oleh negarawan – negarawan Belanda. Muncul tokoh-tokoh yang mengkritik pemerintahannya sendiri. Salah satu tokohya yang duduk di barisan uatama pengkritik adalah Van Deventer, artikelnya yang dimuat di majalah De Gids dengan judul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) bercerita bahwa kekosongan kas negara Belanda telah terpenuhi oleh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah berjasa dalam membantu pemerintah Belanda dalam pemulihan resesi ekonomi. Utang Budi itu wajib dibayar dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia melalui edukasi, imigrasi dan irigasi.Berbagai kritik yang dilontarkan telah menggerakkan pemerintah Belanda untuk menerapkan kebijakan Politik Etis. Politik Etis dilakukan dengan membuka sekolah – sekolah, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Jika dikaji lebih mendalam, pengadaan sekolah itu bukan murni politik balas budi sebab keberadaan sekolah itu juga membantu Belanda untuk mendapatkan tenaga kerja yang terdidik dan murah.
Beberapa sekolah yang berkembang pada masa penjajahan Belanda :
1.      Sekolah Rakyat (volkschool)
2.      Sekolah Guru (kweekschool)
3.      MULO (meer uitgebrid logee onderwijs)
4.      AMS (algeemene middlebare school)
5.      Sekolah Teknik (technische hogeschool)
6.      Sekolah Dokter Jawa ( STOVIA school ta opleiding van inlandsche artsen)[8].
Pada tahun 1903 diumumkan Undang-Undang Desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal, yang mempunyai wewenang membuat peraturan-peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan umum ( Sekarang di kelolah Oleh PUTL). Pada tahun 1905 didirikan dewan kota di Jakarta, Jatinegara dan Bogor, dan sudah tentu mayoritas anggotanya orang Belanda.
Dalam rangka desentralisasi ini, secara berangsur-angsur dibentuk provinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut diadakanlah dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Pada bidang pendidikan dilakukan perluasan pengajaran pada tahun 1907. Dan sehubungan dengan perluasan aktivitas pemerintah kolonial, didirikanlah departemen-departemen baru. Departemen Pertanian (1904), Departemen Perusahaan-perusahaan Negara, yang pada tahun 1911 digabungkan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan.
Untuk meningkatkan kesehatan rakyat, dilakukan pemberantasan penyakit menular, seperti pes, kolera, malaria dan sebagainya. Untuk mengurangi penduduk pada daerah-daerah yang padat di Jawa, karena makin meluasnya daerah perkebunan dan bertambahnya penduduk, dilakukan transmigrasi. Mula-mula dan daerah Jawa Tengah ke ujung Jawa Timur untuk bekerja pada perkebunan tebu.
Transmigran ke daerah luar Jawa dikirimkan sebagai tenaga kerja ke daerah-daerah perkebunan Sumatra Utara, khususnya di Deli, sedangkan transmigran ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap. Namun agar usaha mereka tidak mengalami gangguan , maka terseedianya tenaga kerja harus terjamin dan tenaga kerja itu diikat dengan kontrak yang disertai ancaman hukuman. Sejak permulaan abad ini telah dilakukan perluasan pengajaran baik sekolah umum maupun kejuruan dalam berbagai tingkat. Begitupun beberapa jenis perguruan tinggi dibuka seperti :
·         perguruan pertanian di Bogor (1902)
·         perguruan tinggi hukum (1909)
Pada masa ini sekolah swasta mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat. Untuk meningkatkan pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi yang luas, seperti irigasi Brantas di Jawa Timur. Namun irigasi tersebut sebenarnya hanya untuk kebutuhan perkebunan swasta di satu pihak dan di pihak lain merugikan pertanian penduduk. Untuk kepentingan petani dan rakyat kecil didirikan bank-bank kredit pertanian, bank padi, bank simpanan dan rumah-rumah gadai. Koperasi juga didirikan, tetapi kurang mendapat kemajuan. Meskipun usaha ini tidak berhasil mendorong produksi pribumi, tetapi telah berhasil mendidik rakyat mengenai penggunaan uang.[9]
C.    Dampak Politik Etis terhadap Kaum Nasionali Indonesia
Dampak dari kebijakan politik etis bisa diihat dari beberapa aspek diantaranya:
1.      Sistem Irigasi
Irigasi Pengairan dan Infastrutur merupakan program pembangunan dan penyempurnaan social dan prasarana untuk kesejahteraan terutama dibidang pertanian dan perkebunan serta perbaikan prasarana infrastruktur.
2.      Emigrasi (Transmigrasi)
Emigrasi (transmigrasi) Merupakan program pemerataan pendidikan jawa dan madura dengan dibuatnya pemukiman disumatra utara dan selatan dimana dibuka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya, sehingga kepadatan penduduk di pulau Jawa dapat diatasi.
Akan tetapi kebijakan pertama dan kedua disalah gunakan untuk pemerintah belanda dengan membanggun irigasi untuk perkebunan-perkebunan belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan belanda untuk dijadikan pekerja rodi.
3.      Pendidikan
Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumplah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah belanda, yaitu dengan pendirian sekolah-sekolah. Dampak yang terjadi dari politik etis pendidikan ini sangat berpengaruh membangkikan nasionalisme pada pribumi terutama dilakukan oleh pemuda pada saat itu sehingga lahirlah organisasi-organisasi pemuda Indonesia pada saat itu
Adanya upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan dapat membawa pada arah kemajuan seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini juga tidak terlepas dari keberadaan para tokoh Ethis yang saat itu menjadi pengawas dari adanya setiap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Menurut tulisan Ricklefs didalam bukunya Sejarah Indonesia Moderen : “Berkembangnya pendidikan dalam mewujudkan ide Ethis ini dipengaruhi pula oleh pemikiran Snock Hurgonje dan J.H Abendanon yang berinti pada “ pendidikan yang ditujukan kepada elite pribumi dengan pengaruh serta gaya Eropa, misalnya penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sehingga kelak pribumi ini dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian maka akan terlihat adanya hubungan yang bersifat patronase dimana pribumi yang diberi pendidikan akan membalas jasa Belanda dengan membantu segala program kerja pemerintahan Hindia Belanda”
Dari sinilah kita lihat pribumi ini kemudian mulai mencari jati diri, mencari identitas bangsa (Local Genius). Dengan demikian pendidikan telah membawa anak bangsa dalam mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa. Para pemuda Indonesia yang belajar diluar ini kemudian pulang ketanah air dengan mendirikan pergerakan bahkan perkumpulan-perkumpulan yang menuntut tercapainya kemerdekaan. Dampak pendidikan ini sebelumnya sudah ada satu masa dengan penerapan Politik Ethis.
Hal ini terlihat dengan adanya organisasi pergerakan seperti: seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Dagang Islam (1908); yang kemudian diubah menjadi Serikat Islam pada tahun 1913, dan Indische Partij pada tahun 1912, Perhimpunan Indonesia pada tahun 1908. Selain itu pula ada partai yang lahir sesudah adanya pengaruh dari perkembangan Universitas dan pendidikan Eropa seperti PKI pada 23 Mei 1920, dan Parindra sekitar 1935 serta partai-partai lainnya. Wakil-wakil dari pergerakan inilah yang kemudian akan tampil dikancah politik Hindia Belanda, serta menempatkan fungsinya untuk menyalurkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu tujuan dari pergerakan-pergerakan organisasi tersebut merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan karena semua organisasi diatas memuat tujuan sama yaitu Indonesia satu yang terlepas dari penetrasi kolonial. Indonesia yang merdeka; Indonesia yang mampu berdiri untuk memimpin negerinya sendiri[10].

BAB III
SIMPULAN
Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwa Politik etis adalah politik balas budi atau hutang kehormatan yang di buat oleh pmerintah kolonial Belanda ternyata menimbulkan suatu kemajuan dan abad pencerahan bagi Bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan, selain itu pula sebagai suatu politik boomerang bagi Bangsa Belanda karena tealh menelurkan para golongan terpejar yang kemudian menjadi suatu bola salju yang menghantam pemerintahan Belanda. Hal itu bisa kita lihat dalam dinamika dan perkembangan sekolah yang semakin tahun semakin banyak bidang dan kuantitas jumlahnya bagi penduduk pribumi.
Perkembangan pendidikan pun menjadikan banyak masyarakat pribumi yang tidak lagi buta huruf dan mendapat pendidikan untuk mengetahui ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu pengetahuan tentang agama saja namun juga ilmu pengetahuan umum, yang sebelumnya hanya ada lembaga pendidikan pesantran saja kemudian timbul sekolah-sekokah umum, baik yang berupa buatan Belanda maupun Indonesia seperti Tanam Siswa dll.













[1] Riclefs. 2007. Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press.
[2] Prof. A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX, hlm 64
[3] Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.
[4] http://taatsetya.blogspot.co.id/
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis
[6] Ibid, hlm 65
[7] Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka
[8] http://sucisariindah.blogspot.co.id/2016/04/politik-etis.html
[10] Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarag Press. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "RENTANG KISAH" Gita Savitri Devi

Judul Buku      : Rentang Kisah Penulis             : Gita Savitri Devi Tebal Buku      : 207 Penerbit           : Gagas Media Tahun Terbit    : 2017 Gita Savitri Devi adalah seorang vloger yang banyak diidolakan oleh remaja Indonesia karena isi vlognya yang banyak menginspirasi, keluesannya berbicara di depan kamera dan juga karena konten-kontennya yang banyak mengkritik keadaan Indonesia menjadikannya mendapatkan tempat dihati masyarakat. Seorang lulusan Kimia Murni di Freie Universitat Berlin ini merasa risih melihat aktivitas media sosial pemuda Indonesia yang isinya kurang berfaedah, dia berusaha merubah hal tersebut dengan menjadikan media sosial untuk hal-hal yang positif. Selain aktif sebagai youtuber Gita yang masih betah tinggal di Jerman ini juga aktif menulis di blog. Buku Rentang Kisah adalah buku pertamanya, buku ini menceritakan perjalanan hidupnya dari mulai SMA hingga sekarang. Diawal bab, diceritakan bagaimana Gita di SMA dan juga hubungannya dengan s

Resensi novel TENTANG KAMU Tere LIye

Judul               : Tentang Kamu Penulis             : Tere Liye Tebal               : vi+524 halaman Penerbit           : Republika Tahun Terbit    : 2017 Cetakan           : ke-7             Tere Liye merupakan seorang novelis terkenal di Indonesia, novel yang diterbitkan selalu menjadi best seller dan tidak mengecewakan. Novel Tentang Kamu salah satu novel tere liye dari 28 karyanya yang juga best seller, sayangnya, walaupun novel-novelnya best seller Tere Liye memberhentikan penerbitannya karena pajak penulis yang tinggi, tapi tenang bagi penikmat tulisan-tulisan Tere Liye kita masih bisa mendapatkannya lewat e-book.             Novel Tentang kamu menceritakan seorang  pengacara asal Indonesia yang bekerja di Thompson & Co bernama Zaman yang kemudian mendapatkan tugas untuk mencari ahli waris dari seorang perempuan bernama Sri Ningsih yang memiliki jumlah warisan yang sangat banyak. Untuk menyelesaikan kasus ini zaman harus menelusuri kehidupan Sri Ningsih

Resensi Buku SECANGKIR KOPI JON PAKIR - Emha Ainun Nadjib

Judul               : Secangkir Kopi Jon Pakir Penulis             : Emha Ainun Nadjib Tebal               : 348 halaman Penerbit           : PT Mizan Pustaka Tahun Terbit    : 2016 Cetakan           : ke- 2 Buku Secangkir Kopi Jon Pakir jika dibaca sekilas kata Pakir ini seperti kata Parkir alhasil aku pertamanya berpikir kalau buku ini menceritakan tentang si Jon yang mungkin seorang tukang parkir. Namun setelah membaca isinya, ternyata nama pakir itu berasal dari bahasa arab yaitu Fakir yang menyesuaikan lidah orang Jawa. Buku ini merupakan buku yang dicetak ulang, cetakan pertamanya yaitu pada tahun 1992. Buku ini menceritakan kondisi sosial masyarakat pada masa itu yang dikemas dengan apik oleh Cak Nun (sapaan untuk Emha Ainun Nadjib). Dalam buku ini Cak Nun menamai dirinya sebagai Jon Pakir yang mengkritisi peristiwa yang terjadi disekitarnya. Secangkir Kopi yang disajikan disini bukanlah berupa air kopi tapi merupakan hidangan yang sangat bergizi untuk otak