Judul : Sangakala di Langit Andalusia Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal : xii+472 hlm Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2 022 Cetakan : ke- 1 Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan
kekerasan untuk mengejar keuntungan yang berlimpah, ternyata tidak diterima
baik oleh semua orang Belanda. Penderitaan rakyat yang tiada taranya karena pengorbanan
tenaga, waktu, milik, bahkan martabatnya, untuk kepentingan penjajah asing,
telah menggugah hati nurani sekelompok orang Belanda. Mereka melancarkan kritik
terhadap eksploitasi rakyat Indonesia yang berlebih-lebihà n itu.
Keberadaan humanis sebagai pengawas praktek kolonial membuat
pemerintah tidak leluasa menjalankan kebijakannya. Sehingga pada tahun 1899
pemerintah Hindia Belanda mengalami kebangkrutan bahkan memerlukan pinjaman
sebesar 100 juta untuk menutupi defisit. (Vlekke: 1961; 371). Selain itu
penyimpangan pada politik kolonial menimbulkan perlawanan-perlawanan oleh
pribumi misalnya saja Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh ( 1874-1904)
dan Perang Padri (1831-1839) yang menekan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
Keadaan ini menghambat berjalannya roda pemerintahan Hindia Belanda di
Nusantara. Dengan demikian akhirnya tuntutan dan ide yang bersifat humanistik
untuk memperhatikandan memperbaiki nasib rakyat pribumi akhirnya mulai
dipikirkan oleh pemerintah saat itu.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta
menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda
mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa
pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke
dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana latar belakang munculnya politik etis?
2.
Apa makna dari politik etis?
3.
Bagaimana pengaruhnya terhadap kaum nasionalis Indonesia?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui Latar
belakang munculnya politik etis.
2.
Mengetahui Makna
politik etis.
3.
Mengetahui Pengaruhnya
terhadap kaum nasionalis Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Politik Etis
Krisis ekonomi tahun 1885 segera menghapus harapan awal kaum
liberal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan karenanya
perusahaan-perusahaan mulai bergabung sehingga struktur ekonomi tidak lagi
individual, malahan secara definitif menjadi kapitalis. Sejak sekitar 1895
Hindia-Belanda menghadapi depresi yang lain. Sementara itu
kepentingan-kepentingan baru mulai mempengaruhi politik kolonial Belanda,
uapah-upah yang rendah jelas menguntungkan penguasa perkebunan dan
mereka-mereka yang berkepentingan terhadap ekspor tanaman perdagangan tropis,
namun sangat merugikan kepentingan rakyat yang menyebabkan menurunnya tingkat
kesejahteraan rakyat. Maka pada tahun 1902 Ratu Belanda membentuk Mindere Wehaarts Commissie yang bertugas
untuk menyelidiki sebab-sebab menurunnya kesejahteraan rakyat. Ini menandai
dari politik liberal menuju apa yang oleh Belanda di sebut dengan politik etis[1].
Politik etis lebih mengakar pada masalah kemanusiaan. Kritik-kritik
terhadap pemerintahan Belanda sebagai dilontarkan dalam buku Max Havellar
(1860). Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi
beban penderitaan rakyat Indonesia dan Jawa khususnya, dan pada akhir abad XIX
mulailah suatu politik kolonial baru. Selama masa liberal
(1870-1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri-industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial, sehinnga standar hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh sebab itulah, maka kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mewujudkan ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Pihak yang beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan oleh kalangan para pengusaha itu, maka lahirlah politik etis.[2]
(1870-1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri-industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial, sehinnga standar hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh sebab itulah, maka kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mewujudkan ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Pihak yang beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan oleh kalangan para pengusaha itu, maka lahirlah politik etis.[2]
Sebelumnya telah di
jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih
dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana
akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di
buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih
jelas:
- Era politik konservatif (1800-1848) :
era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana
eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi
SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak
perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah
keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
- Era culturstelsel (1830-1870) :
era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya
terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di
ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di
pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang
laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu.
Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan
tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825
gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik
politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan
negeri Belanda.
- Era politik liberal (1850-1870) :
era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi
Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin
memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan
politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas,
pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan
kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.
- Era transisi dari politik liberal masuk ke
politik etis (1870-1900) : era dimana Belanda sebagai Negara yang
awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal
menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan
teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan
membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya
politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan
Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan
perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap
yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
- Era politik etis itu berlangsung kurang lebih
1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah
berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi,
Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia[3].
Suatu istilah dan
konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis,
istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal
dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan
menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di
wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin
memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah
kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang
intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik
kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh
bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat
dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di
respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada
tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang
moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indoensia. selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang
menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu perubahan politik di
Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya
sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di
tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin
membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksnakan yiatu :
- Golongan Misionaris : 3 partai
kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai
Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah
kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh
agama.
- Golongan Konservatif : menjadi
kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan
orang-orang yang terbelakang[4].
Itulah dua doktrin yang
berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial
seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk
pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban
moral.
kehormatan ataupun
hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah tadi dijelaskan
bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan Sosial Demokrat yang
didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi untuk bangsa
Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan
rakyat dan efisiensi. Karena pada saat diberlakukanya
politik etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang
ekonomi di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit
yang berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang
ke Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk.
Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99
% penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga
kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai
yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang
ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi
masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara
segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi
politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara
pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada
ketidaksejahteraan pribumi.
Maka tak mengherankan
jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik etis adalah dalam tiga
bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate (pendidikan)
,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama mereka.
Pada
dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan
tersebut.
·
Irigasi
Pengairan
hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
·
Edukasi
Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh
rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah
kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
·
Migrasi
Migrasi
ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan
kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang
menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari
ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan
pemerintahan Belanda[5].
B.
Makna Politik Etis
Gagasan dasar politik etis bersal dari tulisan C. Th van Deventer
yang dimuat dalam de Gids pada 1899 yang berjudul ‘’Een Eereschuld’’ yang
berarti hutang budi. Dalam tulisan itu di kemukakana antara lain bahwa
kemakmuran negri Belanda diperoleh karena kerja dan jasa rakyat Indonesia.
Bansa Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral haruslah membayar hutang
itu dengan menyelenggarakan trilogi atau trias: irigasi, emigrasi dan edukasi.
Tampaknya Pemerintah Belanda menanggapi pandangan van Deventer
tersebut dengan menyampaikan gagasan pembaharuan sebagai tercermin dalam pidato
Ratu Wilhemina yang berjudul ‘’Ethische Richting’’ (Haluan Etis)[6]
Dewasa ini perlu
diketahui bahwa awal mula sebelum dilaksanakannya system politik etis di
Indonesia,kondisi dan keadaan ekonomi serta sosial masyarakat Indonesia masih
sangat buruk dan jauh dari kata sejahtera, khususnya untuk pendidikan pribumi
yang bukan dari golongan kaum bangsawan.
Dalam hal ini kondisi pendidikan bukan menjadi baik namun malah sebaliknya,
kondisi pendidikan semakin memburuk dan kebutuhan akan pendidikan bagi kalangan
masyarakat pribumi semakin berkurang. Dilihat dari aspek ekonomi, tanah-tanah
milik rakyat yang masih sangat luas kemudian dikuasai oleh para
bangsawan/pemerintah Belanda dan penguasa tradisional, sehingga menyebabkan
para pemilik tanah (rakyat) hanya menjadi penyewa dan penggarap.
Padahal jika
diperhatikan tanah tersebut merupakan tanah milik mereka sendiri. Dari aspek
politik,muncul permasalahan yang cukup kompleks dan berkembang saat ini,yaitu
adanya sentralisasi politik yang cukup kuat sehingga tidak ada pemisahan yang
jelas antara pemisahan kekuasaan dan keuangan yang mana dalam hal ini adalah
antara pemerintah Belanda dan pihak Pemerintah Indonesia yang berdampak pada
tidak sejahteranya kondisi masyarakat Indonesia.
Kondisi seperti ini lah
yang kemudian dapat menarik simpati dari golongan sosial democrat yang
didalangi oleh Van Deventer. Dan kemudian ia diberikan julukan sebagai bapak
pangeran etis yang mana menginginkan adanya balas budi untuk bangsa
Indonesia.Seiring berjalannya waktu, kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia
semakin memburuk, meskipun sudah diterapkannya system politik etis yang mana
dipelopori oleh Van Deventerr sebagai sebuah bentuk balas budi terhadap bangsa
Indonesia.
Namun pada realita yang
ada menunjukkan bahwa pelaksanaan system politik etis belum sepenuhnya
menguntungkan pihak masyarakat Pribumi. Meskipun disisi lain masyarakat pribumi
dapat merasakan sedikit perubahan yang ada setelah diterapkannya politik etis
tersebut. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pribumi semakin memburuk inilah
yang memicu munculnya sikap kesadaran akan nasionalisme dalam upaya melepaskan
belenggu penjajahan yang ternyata dapat dilakukan melalui cara baik seperti
penerapan politik etis tersebut. Terbentuknya kesadaran nasionalisme bukan
hanya didorong dari adanya perkembangan politik colonial Belanda saja,namun juga
karena faktor lain seperti penderitaan yang dialami oleh masyarakat pribumi[7].
Adanya ketidakadilan,
kemiskinan, diskriminasi, pembodohan, yang terjadi di Indonesia ternyata
diamati oleh negarawan – negarawan Belanda. Muncul tokoh-tokoh yang mengkritik pemerintahannya
sendiri. Salah satu tokohya yang duduk di barisan uatama pengkritik adalah Van
Deventer, artikelnya yang dimuat di majalah De Gids dengan judul “Een
Eereschuld” (Hutang Kehormatan) bercerita bahwa kekosongan kas negara Belanda
telah terpenuhi oleh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah
berjasa dalam membantu pemerintah Belanda dalam pemulihan resesi ekonomi. Utang
Budi itu wajib dibayar dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia
melalui edukasi, imigrasi dan irigasi.Berbagai kritik yang dilontarkan telah
menggerakkan pemerintah Belanda untuk menerapkan kebijakan Politik Etis.
Politik Etis dilakukan dengan membuka sekolah – sekolah, mulai tingkat sekolah
dasar hingga perguruan tinggi. Jika dikaji lebih mendalam, pengadaan sekolah itu
bukan murni politik balas budi sebab keberadaan sekolah itu juga membantu
Belanda untuk mendapatkan tenaga kerja yang terdidik dan murah.
Beberapa sekolah yang
berkembang pada masa penjajahan Belanda :
1. Sekolah Rakyat
(volkschool)
2. Sekolah Guru
(kweekschool)
3. MULO (meer uitgebrid
logee onderwijs)
4. AMS (algeemene
middlebare school)
5. Sekolah Teknik
(technische hogeschool)
Pada tahun 1903 diumumkan Undang-Undang Desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal,
yang mempunyai wewenang membuat peraturan-peraturan tentang pajak dan
urusan-urusan bangunan umum ( Sekarang
di kelolah Oleh PUTL). Pada tahun 1905 didirikan dewan kota di Jakarta,
Jatinegara dan Bogor, dan sudah tentu mayoritas anggotanya orang Belanda.
Dalam rangka desentralisasi ini, secara berangsur-angsur dibentuk provinsi
dan kabupaten sebagai daerah otonom. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut
diadakanlah dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Pada
bidang pendidikan dilakukan
perluasan pengajaran pada tahun 1907. Dan sehubungan dengan perluasan aktivitas
pemerintah kolonial, didirikanlah departemen-departemen baru. Departemen
Pertanian (1904), Departemen Perusahaan-perusahaan Negara, yang pada tahun 1911
digabungkan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan.
Untuk meningkatkan
kesehatan rakyat, dilakukan pemberantasan penyakit menular, seperti pes,
kolera, malaria dan sebagainya. Untuk mengurangi penduduk pada daerah-daerah
yang padat di Jawa, karena makin meluasnya daerah perkebunan dan bertambahnya
penduduk, dilakukan transmigrasi. Mula-mula dan daerah Jawa Tengah ke ujung
Jawa Timur untuk bekerja pada perkebunan tebu.
Transmigran ke daerah
luar Jawa dikirimkan sebagai tenaga kerja ke daerah-daerah perkebunan Sumatra
Utara, khususnya di Deli, sedangkan transmigran ke Lampung mempunyai tujuan
untuk menetap. Namun agar usaha mereka tidak mengalami gangguan , maka
terseedianya tenaga kerja harus terjamin dan tenaga kerja itu diikat dengan
kontrak yang disertai ancaman hukuman. Sejak permulaan abad ini telah dilakukan
perluasan pengajaran baik sekolah umum maupun kejuruan dalam berbagai tingkat.
Begitupun beberapa jenis perguruan tinggi dibuka seperti :
·
perguruan pertanian di Bogor (1902)
·
perguruan tinggi hukum (1909)
Pada masa ini sekolah swasta mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Untuk meningkatkan pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi yang luas,
seperti irigasi Brantas di Jawa Timur. Namun irigasi tersebut sebenarnya hanya
untuk kebutuhan perkebunan swasta di satu pihak dan di pihak lain merugikan
pertanian penduduk. Untuk kepentingan petani dan rakyat kecil didirikan
bank-bank kredit pertanian, bank padi, bank simpanan dan rumah-rumah gadai.
Koperasi juga didirikan, tetapi kurang mendapat kemajuan. Meskipun usaha ini
tidak berhasil mendorong produksi pribumi, tetapi telah berhasil mendidik
rakyat mengenai penggunaan uang.[9]
C.
Dampak Politik Etis terhadap Kaum Nasionali Indonesia
Dampak dari kebijakan politik etis bisa
diihat dari beberapa aspek diantaranya:
1. Sistem Irigasi
Irigasi Pengairan dan Infastrutur
merupakan program pembangunan dan penyempurnaan social dan prasarana untuk
kesejahteraan terutama dibidang pertanian dan perkebunan serta perbaikan
prasarana infrastruktur.
2. Emigrasi (Transmigrasi)
Emigrasi
(transmigrasi) Merupakan program pemerataan pendidikan jawa dan madura dengan
dibuatnya pemukiman disumatra utara dan selatan dimana dibuka
perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan
pegawainya, sehingga
kepadatan penduduk di pulau Jawa dapat diatasi.
Akan
tetapi kebijakan pertama dan kedua disalah gunakan untuk pemerintah belanda
dengan membanggun irigasi untuk perkebunan-perkebunan belanda dan emigrasi
dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan belanda untuk
dijadikan pekerja rodi.
3. Pendidikan
Merupakan
program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumplah buta huruf yang implikasi
baiknya untuk pemerintah belanda, yaitu dengan pendirian sekolah-sekolah. Dampak yang terjadi dari politik etis
pendidikan ini sangat berpengaruh membangkikan nasionalisme pada pribumi
terutama dilakukan oleh pemuda pada saat itu sehingga lahirlah
organisasi-organisasi pemuda Indonesia pada saat itu
Adanya
upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan dapat membawa pada arah
kemajuan seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini juga tidak terlepas dari
keberadaan para tokoh Ethis yang saat itu menjadi pengawas dari adanya setiap
kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Menurut tulisan Ricklefs didalam bukunya
Sejarah Indonesia Moderen : “Berkembangnya pendidikan dalam mewujudkan ide
Ethis ini dipengaruhi pula oleh pemikiran Snock Hurgonje dan J.H Abendanon yang
berinti pada “ pendidikan yang ditujukan kepada elite pribumi dengan pengaruh
serta gaya Eropa, misalnya penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
sehingga kelak pribumi ini dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi
pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian maka akan terlihat adanya hubungan
yang bersifat patronase dimana pribumi yang diberi pendidikan akan membalas
jasa Belanda dengan membantu segala program kerja pemerintahan Hindia Belanda”
Dari
sinilah kita lihat pribumi ini kemudian mulai mencari jati diri, mencari
identitas bangsa (Local Genius). Dengan demikian pendidikan telah membawa anak
bangsa dalam mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata
lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa. Para pemuda
Indonesia yang belajar diluar ini kemudian pulang ketanah air dengan mendirikan
pergerakan bahkan perkumpulan-perkumpulan yang menuntut tercapainya
kemerdekaan. Dampak pendidikan ini sebelumnya sudah ada satu masa dengan
penerapan Politik Ethis.
Hal
ini terlihat dengan adanya organisasi pergerakan seperti: seperti Budi Utomo
(20 Mei 1908), Serikat Dagang Islam (1908); yang kemudian diubah menjadi
Serikat Islam pada tahun 1913, dan Indische Partij pada tahun 1912, Perhimpunan
Indonesia pada tahun 1908. Selain itu pula ada partai yang lahir sesudah adanya
pengaruh dari perkembangan Universitas dan pendidikan Eropa seperti PKI pada 23
Mei 1920, dan Parindra sekitar 1935 serta partai-partai lainnya. Wakil-wakil
dari pergerakan inilah yang kemudian akan tampil dikancah politik Hindia
Belanda, serta menempatkan fungsinya untuk menyalurkan aspirasi seluruh rakyat
Indonesia. Selain itu tujuan dari pergerakan-pergerakan organisasi tersebut
merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan karena semua
organisasi diatas memuat tujuan sama yaitu Indonesia satu yang terlepas dari
penetrasi kolonial. Indonesia yang merdeka; Indonesia yang mampu berdiri untuk
memimpin negerinya sendiri[10].
BAB III
SIMPULAN
Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwa Politik etis adalah politik
balas budi atau hutang kehormatan yang di buat oleh pmerintah kolonial Belanda
ternyata menimbulkan suatu kemajuan dan abad pencerahan bagi Bangsa Indonesia
yang mendapat pendidikan, selain itu pula sebagai suatu politik boomerang bagi
Bangsa Belanda karena tealh menelurkan para golongan terpejar yang kemudian
menjadi suatu bola salju yang menghantam pemerintahan Belanda. Hal itu bisa
kita lihat dalam dinamika dan perkembangan sekolah yang semakin tahun semakin
banyak bidang dan kuantitas jumlahnya bagi penduduk pribumi.
Perkembangan pendidikan pun menjadikan banyak masyarakat pribumi yang tidak
lagi buta huruf dan mendapat pendidikan untuk mengetahui ilmu pengetahuan tidak
hanya ilmu pengetahuan tentang agama saja namun juga ilmu pengetahuan umum,
yang sebelumnya hanya ada lembaga pendidikan pesantran saja kemudian timbul
sekolah-sekokah umum, baik yang berupa buatan Belanda maupun Indonesia seperti
Tanam Siswa dll.
[1] Riclefs. 2007. Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada Press.
[2] Prof. A. Daliman, Sejarah
Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX, hlm 64
[3] Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7,
(Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.
[6] Ibid, hlm 65
[7] Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7,
(Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka
[8] http://sucisariindah.blogspot.co.id/2016/04/politik-etis.html
[10] Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan
Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP
Semarag Press.
Komentar
Posting Komentar