Judul : Sangakala di Langit Andalusia Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal : xii+472 hlm Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2 022 Cetakan : ke- 1 Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se
SEJARAH ISLAM DI TASIKMALAYA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sejarh Islam
Sunda
Dosen Pengampu: 1. Usman Supendi. M. Pd
2. Moeflich Hasbullah. M. Hum
Oleh:
Iin Hindasah 1145010060
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNUVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan Islam di Pulau Jawa relatif cukup pesat dan proses
penyebarannya semakin intensif setelah adanya para mubaligh yang dikenal dengan
sebutan Wali Sanga. Penyebaran Islam semakin terorganisir setelah
berdirinya pusat-pusat kekuasaan Islam dalam bentuk pemerintahan, seperti
kesultanan Demak dan Cirebon. Dan Islam pun sampai ke pelosok-pelosok Pulau
Jawa.
Islam sampai ke Kabupaten Tasikmalaya dengan peran para mubaligh,
namun sebelum kedatangan Islam di Tasikmalaya terdapat sebuah pemerintaha yaitu
yang berpusat di Galunggung yang masyarakatnya menganut kepercayaan animisme
dan dinamisme. Islam disebarluaskan di Tasikmalaya oleh seorang tokoh bernama
Syekh Abdul Muhyi yang menetap di Pamijahan dengan menghilangkan kepercayaan
masyarakat setempat terhadap ajaran terdahulunya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Kabupaten Tasikmalaya?
2.
Bagaimana Sejarah Kerajaan Sukapura di Tasikmalaya?
3.
Bagamana Penyebaran Islam Oleh Syekh Abdul Muhyi?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui Sejarah Kabupaten Tasikmalaya
2.
Mengetahui Sejarah Kerajaan Sukapura di Tasikmalaya
3.
Mengetahui Penyebaran Islam Oleh Syekh Abdul Muhyi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kabupaten Tasikmalaya
Dimulai pada abab ke 7 sampai abad ke 12 di wilayah yang sekarang
dikenal sebagai kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk
pemerintahan kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung,
dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari kerajaan Galuh) atau dengan kata
lain raja baru dianggap sah apabila mendapat persetujuan Batara yang bertahta
di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abab tersebut
adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara
Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan
bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal
13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan peguasa pertamanya yaitu
Batari Hyang, Berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger
Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari sang Batari
inilah mengemuka ajaranya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakandang Karesian.
Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmipada jaman prabu siliwangi
(1482-1521M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini
bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Periode selanjutnya adalah periode pemeritahan di Sukakerta dengan
Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa,
Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari kerajaan Pajajaran.
Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteng yang masa hidupnya sejaman dengan
Prabu Siliwangi. Dalem sukaketa sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman
dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu
Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran Sudah
mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan
Demak. Sunan Gunung Djati sejak tahun 1528 berkeliling keseluruh wilayah tanah
Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah,
daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha
melepaskan diri mungkin sekali dalam Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah
menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari pajajaran. Tidak mustahil
pulakedua penguasa itu sudah masuk Islam.
B.
Kerajaan Sukapura
Pemerintahan di Sukapura didahului oleh masa pergolakan di wilayah
Priangan yangberlangsung kurang lebih 10 tahun. Munculnya pergolakan ini
sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad ke
17 M yaitu Mataram Banten dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa
sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura,
dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya
membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh
Tengah, Kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.
Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak
lelaki lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan
lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan
Senopati ketika Mataram resmi menguasai Priangan Timur 1595.
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari
kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam
kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang
Tasikmalaya).
Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah
menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam
usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir
tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara
Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah
Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan TASIKMALAYA yang
berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena didalam pasukan beliau banyak terdapat
keturunan Melayu Malaka.
Raden Surya di tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran
Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung
Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai
Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan
Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh
Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang
maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri
dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon
termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah
zaman ke emas an Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu
Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.
Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati Mataram mengirim expedisi hingga
Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan
banyak wilayah termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi
wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden
Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai
Penasehat beliau untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden
Suryadiningrat.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi
kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah
menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635
resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa
memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung
Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura
(Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini
dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir
berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden
Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau pensiun maka
ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.
Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten
Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha
VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan
alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi
Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke
Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berdasarkan alasan
ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur
menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih
dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya
kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada
di Galunggung.
Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi
kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai
Bupatinya. Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan hari jadi Kabupaten
Tasikmalaya berdasarkan Prasastri Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda
upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai penguasa di Galunggung.
C.
Penyebaran Islam Oleh Syekh Abdul Muhyi
Adanya penguasaan daerah Banten telah mengokohkan kekuatan Islam di
bagian barat pulau Jawa dengan dua front penyebaran. Pertama, front
Barat dengan pusatnya di Banten dan Kedua, front Timur dengan pusatnya
di Cirebon. Dengan demikian, kekuasaan kerajaan Pajajaran di pedalaman makin
terjepit oleh dua kekuatan Islam. Apalagi sejak tahun 1528 Sunan Gunung Djati
memusatkan penyebaran agama Islam ke pedalaman dengan berkeliling ke seluruh
tanah Sunda (Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, Seri Monografi nomor 5,
IKAM, Jakarta, 1972: 60-69, periksan Asikin).
Penyebaran Islam melalui fron barat, Banten. Telah berhasil
mengislamkan masyarakat di daerah-daerah antara lain daerah Banten Selatan,
Bogor, Sukabumi, dan Jakarta. Sementara penyebaran Islam di fron Timur, Cirebon
Berhasil mengislamkan Masyarakat di daerah-daerah antara lain Kuningan,
Majalengka, Indramayu, Subang, Cianjur, Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis dan
Tasikmalaya ( Teguh Asmar, 1975:103). Penyebaran agama Islam keselatan
dilakukan oleh Cirebon sesudah tahun 1530 dengan berhasil menundukan Talaga,
dilanjutkan kedaerah selatan, yaitu Kawali, Galuh, dan Galunggung (R. Ugon
Sugandi, Sejarah Majalengka,: 30) keberhasilan penyebaran agama Islam
telah secara nyata menghancurleburkan kerajaan bercorak Hindu yang pernag
berjaya di daerah barat Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran (Sunda).
Sejak saatt itu, kekuasaan-kekuasaan
yang tumbuh kemudian semuanya bercorak Islam.
Penyebaran Agama Islam di Daerah Tasikmalaya dan umumnya daerah
Priangan Timur tidak lepas dari perananpenguasa Kesultanan Cirebon dan Mubaligh
dari Cirebon (Teguh Asmar, 1975: 103), juga tidak dapat dilepaskan dari peranan
seorang penyebar agama Islam yang bernama Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan.
Peranan Syek Abdul Muhyi dalam penyebaran Islam di daerah Tasikmalaya sangat
besar dan diakui sampai sekarang. Kenyataan ini tampak sengan banyaknya
pengelola pesantren di daerah Tasikmalaya, bahkan para penyebar Islam di Garut
dan Ciamis masih mengaku sebagai keturunan murid atau bahkan keturunan dari
Syekh Abdul Muhyi.
Oleh karena itu , sejarah penyebaran agama Islam di daerah
Tasikmalaya tidak dapt dilepaskan dari tokoh Syekh Abdul Muhyi. Keberaadaan
Syekh Abdul Muhyi yang arif dan bijaksana sangat dihormatioleh penduduk dan
penguasa setempat termasuk oleh Bupati Sukapura. ( Edi S Ekajati, Masuk dan
Menyebarnya Islam di Cirebon dan Sekitarnya, Bandung, Fasa Unpad, 1971:147-157)
Syekh Abdul Muhyi sebenarnya masih ketrunan Mataram. Ayahnya bernama Raden
Pamekel Pertempuh adalah Putera Sultan Mataram dan ibunya Nyi Gdeng Kudrat
adalah puteri Bupati Timbanganten. Raden Pamekel Pertempuh sangat senang
mengembara dan dalam pengembaraanya dia menetap cukup lama di Timbanganten
hingga menikah dengan putri penguasa Timbanganten. Pengembaraan Raden Pamekel
Partempuh bersama istri dilanjutkan ke daerah Cikelet. Raden Pamekel Partempuh
meninggal di Cikelet dengan meninggalkanseorang istri dan seorang putera
berusia sekitar 6 tahun yang kemudian diberi nama Syekh Abdul Muhyi
Sumber lai mengatakan Syekh Abdul Muhyi lahit di Mataram, Lombok,
1071 H 1650 dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat pada
tahun 1151 H/1730 M . Syekh Abdul Muhyi masih keturunan bangsawan. Ayahnya,
Sembah Lebe Warta Kusumah adalah keturunan Raja Galuh (Pajajaran). Syekh Abdul
Muhyi dibersarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam
pertama kalia diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulam yang
berada di ampel dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh untuk
melanjutkan pendidikannya dan berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel, seorang
ulama sufi dan berguru tarekat Syattariyah. Setelah menamatkan pendidikan di
Aceh Syekh Abdul Muhyi yang berusia 27 tahun pergi berziarah ke makam Syekh
Abdul Qadir Jaelani di Baghdad dan melaksanakan ibadah haji ke Mekah, Arab
Saudi.
Perjalanan dakwah Syek Abdul Muhyi dimulai setelah ibadah haji di
Mekah. Syekh Abdul Muhyi berniat menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman
Jawa Barat. Daerah yang menjadi tujuan Syekh Abdul Muhyi adalah sebuah kampung
yang berada disebuah lembah yang diberi nama Mujarrad. Pada daerah lembah ini,
Syekh Abdul Muhyi menemukan sebuah gua yang cocok untuk tempat
mengkonsentrasikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah serta mengajarkan agama
Islam. Ditempat inilah Syekh Abdul Muhyi mendirikan pesantren, pesantren inilah
yang sering dianggap sebagai pesantren
tertua di wilayah Priangan (Edi S Ekajati). Salah satu tempat belajar mengaji
adalah ruang gua. Sebuah tempat yang cukup tersembunyi dan dapat terhindar dari
gangguan orang-orang jahat. Gua ini dikenal sampai sekarang dengan sebutan Gua
Safarwadi.
Menurut salah satu tradisi lisan kehadirannya di Gua Safarwadi atas
undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpasa aji-aji hitam
Batara Karang di Pamijahan. Disana terdapat sebuah gua yang menjadi tempat
pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syekh Abdul Muhyi
memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai
gua itu. Menurut foklore setempat, Syekh Abdul Muhyi tiba di Safarwadi pada
tanggal 12 Maulud tahun 854 H.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Abdul Muhyi dengan cara
damai dan menggunakn pendekatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Syekh Abdul
Muhyi sangat sabar, baik budi, dan suka menolong hingga disenangi dan sangat
dekat dengan masyarakat. Selain itu, Syek Abdul Muhyi memiliki kecakapan dalam
mengobati orang sakit dan tempat bertanya atau pemberi nasehat bagi orang-orang
yang sedang mengalami kesulitan. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang
bersimpati sehingga secara sukarela menyatakan memeluk Islam.
Dalam memberi pelajaran agama Islam, Syekh Abdul Muhyi melakukannya
dengan melalui pendekatan budaya, seperti lagu-lagu yang menggunakan kata-kata
dari Alqur’an, dan masyarakatpun diberikan doa-doa berupa kalimat Syahadat dan
ayat-ayat Al-Qur’an. Doa-doa itu dimaksudkan untuk mengganti jampe-jampe yang
masih dipercaya kekuatannya oleh masyarakat. Selain itu, Syekh Abdul Muhyi juga
menggunakan cara tarekat. Metode ini digunakan pada hakekatnya untuk mendidik
santri agar tetap mentaati dan menjalankan ibadah sesuai dengan syareat yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Seluruh ajarah Syeh Abdul Muhyi telah dituliskan oleh seorang
santrinya yang bernama Syekh Nurhuda. Dalam kitab Syekh Nurhuda ditulis tentang
daftar silsilah keguruan, yaitu sebuah pelajaran pertama yang harus dikenal dan
dikuasai oleh setiap santri. Penulisan silsilah keguruan ini dimaksudkan agar
menguatkan batin para santri pengikutnya sehingga mereka tidak akan ragu-ragu
lagi akan kebenaran ajaran yang dibawanya setelah keraguan hilang, kemudian
diajarkan tentang ketauhidan.
Syekh Abdul Muhyi mengajar para santrinya di dalam gua, terutama
pelajaran yang menyangkut masalah yang sangat prinsipil. Penggunaan gua ini
dimaksudkan agar para santri lebih serius, konsentrasi, dan mudah dalam
menyerap pelajaran dengan tidak terganggu oleh situasi alam yang ada di luar.
Syekh Abdul Muhyi menetap di Pamijahan selama sekitar 40 tahun dari
tahun 854 sampai dengan 894 Hijriyah. Syekh Abdul Muhyi meninggal dalam usia 80
tahun dan meninggalkan santri cukup banyak. Mereka bukan hanya berasal dari
daerah Tasikmalaya, melainkan dari seluruh daerah di Jawa Barat, seperti
Indramayu, Cirebon, Ciamis, Cibaduyut (Bandung), dan Cianjur bahkan dari
Jember, Jawa Timur.
Santri-santri alumnus pesantren Syek Abdul Muhyi banyak yang
mendirikan pesantren atau minimal menjadi guru agama di daerah asalnya. Mereka
yang telah berhasil mendirikan pesantren antara lain, Syekh Abdul Qohar di
Bantarkalong, Khatibul Muwahid dari Panyalahan, Abdul Qoloq dari Banagara, dan
masih banyak lagi. Oleh karena itu, tidak aneh jika pada saat ini
pesantren-pesantren yang ada di daerah Tasikmalaya, Garut, Ciamis umumnya
mengaku masih keturunan Syekh Abdul Muhyi atau keturunan santri Syekh Abdul
Muhyi. Selain itu muncul pula pesantren-pesantren besar yang masih kaitannya
dengan Syekh Abdul Muhyi, seperti Pesantren Mahmud dan Cigondewa di Bandung,
Pesantren Cilingcing di Sukapura.(Edi S Ekajati).
BAB III
SIMPULAN
Kerajaan yang ada di
Kabupaten Tasik Malaya pada abad ke 7 sampai ke 12 adalah kerajaan Galunggung
dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari kerajaan Galuh) atau dengan kata
lain raja baru dianggap sah apabila mendapat persetujuan Batara yang bertahta
di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abab tersebut
adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara
Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan
bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi
kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah
menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 resmi
menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa
memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung
Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura
(Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini
dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir
berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden
Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau pensiun maka
ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.
Penyebaran Agama Islam di Daerah Tasikmalaya dan umumnya daerah
Priangan Timur tidak lepas dari perananpenguasa Kesultanan Cirebon dan Mubaligh
dari Cirebon (Teguh Asmar, 1975: 103), juga tidak dapat dilepaskan dari peranan
seorang penyebar agama Islam yang bernama Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan.
Peranan Syek Abdul Muhyi dalam penyebaran Islam di daerah Tasikmalaya sangat
besa dan diakui sampai sekarang. Kenyataan ini tampak sengan banyaknya
pengelola pesantren di daerah Tasikmalaya, bahkan para penyebar Islam di Garut
dan Ciamis masih mengaku sebagai keturunan murid atau bahkan keturunan dari
Syekh Abdul Muhyi.
DAFTAR PUSTAKA
Sejarah Tasikmalaya.
Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Kesejarahan di Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung.
Weni, 2011. Sejarah Penyebaran Islam Di Tasikmalaya
Dan Peran Kerajaan Demak, Cirebon,
Dan Orang-Orang Malaka Dalam Penyebaran Agama Islam diakses hari rabu di http://trianakza.blogspot.co.id/2011/01/sejarah-penyebaran-islam-di- tasikmalaya.html
Komentar
Posting Komentar