Judul : Sangakala di Langit Andalusia Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal : xii+472 hlm Penerbit : Republika Tahun Terbit : 2 022 Cetakan : ke- 1 Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se
SIKAP PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP PERGERAKAN UMAT ISLAM
INDONESIA
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Sejarah Islam Indonesia II. Dosen Pengampu: 1. Drs. Moeflich Hasbullah, MA
2. Suparman
Jassin S.Ag, M.Ag
Oleh:
Feri Sandria 1145010045
Iin Hindasah 1145010060
Jodi Suryana 1145010072
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNUVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak masuknya Islam ke
Indonesia, Islam telah menjadi anutan lebih dari separoh Bangsa Indonesia,
Islam telah membumi dan mendarah bagi Bangsa Indonesia, sehingga setiap isu
yang muncul dalam sosial Indonesia tidak lepas dari berbagai istilah dalam
Islam. meski tidak terlepas dari hal yang positif maupun negatif, ini
menunjukkan bahwa islam telah bersifat kosmopolitan, mengakar dan membumi
secara radikal, ditanah Indonesia ini.
Islam memberikan
pengaruh yang menimbulkan munculnya kelompok baru yang disebut
ulama dan santri, yang kemudian oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari
pengaruh politik[1].
Inidapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, Islam menjadi satu hal yang
diterima pada lapisan bawah sosial (Grass root), sebagai kelompok sosial
yang murni, masyarakat ini menerima Islam sepenuh hati dan menuruti
ajarannya dengan yakin dan tulus terhadap agama. Mereka melihat Islam sebagai
pembebas, dimana Hindu dan ajaran lainnya tidak lagi memberi semangat dalam
kehidupan, mereka menjadi manusia, tetapi memiliki strata terendah dalam sosial
(kasta-kasta). Dengan Islam menimbulkan semangat perubahan, yang
mengembalikan diri manusia menjadi dirinya sendiri dengan bebas, dan hak-hak
yang sama dengan lainnya (renaissance) Kedua, Ajaran Islam mempengaruhi
tata kehidupan, seperti perekonomian, dengan perdagangan, orientasi ini
ternyata pada masa Kolonialis Belanda mendapat tantangan, hambatan, bahkan
ancaman bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas perdagangan, yang sebelum
Kolonialis Belanda masuk ke Indonesia telah menjadi salah satu kegiatan penting
Umat Islam di Indonesia. Adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan
oleh Imperialis Barat menimbulkan tantangan bagi umat Islam, dalam hal ini para
ulama bekerja keras umtuk membina santri-santrinya agar memiliki
sikap combative spirit ( semangat siap tempur), pesantren yang
sebelumnya hanya sebagai lembaga pendidikan, fungsinya bertambah sebagai tempat
kegiatan membina pasukan suka rela.[2]Dalam
hal ini dapat kita lihat peran dan fungsi pesantren sebagai pusat perlawanan
terhadap kolonialis dan Inperialis Barat (a centre of anty DucthCentiment).
Clifford Greertz
menyatakan dalam adab ke-19 saja Belanda menghadapi
empat kali pembrontakan santri yang besar, peperangan ini sering
dalam sejarah dituliskan sebagai perang sabil, (the Holy war).
Adapunpembrontakan itu. Pertama, perang Cirebon, (1802-1806).
Kedua,perang Diponegoro (1825-1830), yang disebut sebagai perang Jawa Tengah
yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, dibawah panji Islam.Ketiga, Perang
Padri, di Sumatera barat, (1821-1838), sebagai akibat intervensi politik
Belanda terhadap perang adat melawan ulama. Keempat, di Aceh (1873-1908).
Sebagai pemberontakan santri terpanjang, Belanda menghadapi pembrontakan santri
ini hingga masa kekuasaannya berakhir di Indonesia, dimana ulama tidak pernah
absen melancarkan gerilya hingga tahun 1942.[3] dari
perlawanan Islam tersebut maka timbulah kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda
untuk menekan perlawanan umat Islam Indonesia
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Datangnya Belanda ke Indonesia?
2.
Bagaimana Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda?
3.
Bagaimana Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui Datangnya Belanda ke Indonesia.
2.
Mengetahui Kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda.
3.
Mengetahui Upaya-upaya Dipolitisasi Umat Islam Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Datangnya Belanda ke Indonesia.
Terhitung mulai bulan april tahun
1595, empat aramada kapal Belanda dibawah komandu Corniles
Dehoutman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat
(pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596. Menurut Dr. Muqaddam
Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap
tidak ada pengaruh portugis[1]
Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah
untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang
kemudian akan dijual di Negara mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah
komando dehoutman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan
dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 ankatan kedua dibahwah pimpinan
Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia. Kedatangan Belanda
yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan
Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan oleh kesultanan
Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah
imprialis Portugis, menjadikan Belanda lebih Mudah menguasai perdagangan di
Indonesia. sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia
di bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck[2].
Melihat hasil yang diperoleh begitu
besar, pada bulan maret 1602 Pemerintah Belanda memberi hak khusus kepada para
perseroan gabungan dan mengesahkannya. Perseroan gabungan tersebut di beri hak
penuh untuk berdagang, dan memegang kekuasaan antara tanjung harapan dan
kepulauan Solomon, termasuk kepulauan nusantara yang dikenal dengan
V.O.C(Vereenedge Oost Indische Compagnie)[3],
dan diberi hak untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha
perdagangannya, dan sejak itulah Belanda perlahan-lahan menjadi menguasai
wilayah Indonesia. Hak politik itu diberikan bisa jadi merupakan sebuah
strategi Belanda untuk memudahkan dan bisa memegang kekuasaan di di wilayah
yang didudukinya termasuk Indonesia, oleh karena itu, betul jika dikatakan
bahwa sejak petengahan abad -16 Imperialis Belanda berusaha mewujudkan pemerintahan
yang kuat di Indonesia yang dapat melindungi transportasi dan perdagangannya.
akan tetapi, umat Islam melalui kesultanan-kesultananya dan juga perlawannya
berhasil menunda keinginan Belanda tersebut hingga dua abad kemudian,.
Keberhasilan Umat Islam menunda
keinginan Belanda untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang utuh banyak
disebabkan oleh adanya perlawanan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia,
salah satunya ialah yang terjadi pada masa Sultan Agung, yang secara
berturut-turut melakukan penyerangan ke Batavia. Selain itu, sifat Sultan Agung
Tritayasa yang sangat membenci Belanda adalah sebuah bentuk perlawanan Islam
yang juga dapat menunda keinginan Belanda. Akan tetapi kekuatan militer Belanda
yang dilengkapi dengan senjata canggih dapat menggagalkan perlawanan umat
Islam, sehingga Belanda berhasil mewujudkan pemerintahan yang utuh, yaitu
setelah dibubarkannya VOC pada tahun 1798, yang kemudian dikenal dengan
pemerintahan Hindia Belanda. Keberhasilan tersebut membuat Belanda lebih
leluasa menentukan sebuah kebijakan politik di Indonesia. dalam hal
kebijakannya terhadap umat Islam terdapat tokoh yangat berperan dalam
menentukan kebijkan tersebut yaitu Sanough Horgronje.
B. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada
akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun
1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro
pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal
sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini,
para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan
pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam paksa ini adalah
salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia Belanda kepada masyarakat Indonesia
secara umum. Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam
telah berhenti setelah perang diponogoro, frekuensi pemberontakan petani-petani
di bawah pimpinan Islam setempat makin meningkat[4]
sehingga pemerintah Hindia Belanda
dengan demikian mengaharuskan membuat arah politik baru tentang
masalah-masalah-masalah Islam. Berdasar latar belakan itulah, pada tahun 1889
seorang negarawan kolonial Belanda "Snouck Hurgronje" (dalam makalah
ini dituli SH) yang mengetahui secara mendalam tentang Islam diangkat menjadi
penasehat untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck Hurgronje
tentang hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia
Belanda untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam. Semenjak
itulah pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan
politik yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan "Islam
Politiek" yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani Islam di
Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Asosiasi Keagamaan
Dutc Islamic Policy
Sejak 1889 taktik Belanda berubah
dalam menghadapi ulama dan umat Islam. Perubahan ini diletakan dasarnya oleh
prof. Dr. Snouck Hurgronje yang diangkat sebagai Adviseur Voor Inlandsche
Zaken. Dari hasil risetnya baik selama di Mekkah maupun di Aceh mengakui bahwa
ulama dan santri merupakan kelompok kecil yang sangat mempengaruhi politik
rakyat dan raja-raja di Indonesia maka SH memberikan diagnosis yang dijadikan
sebagai Dutc Islamic Policy. Ia melihat Islam dari dua bagian, Islam sebagai
agama dan Islam sebagai Politik, ulama dan santri tidak berbahaya sekalipun
mereka berada di desa-desa dekat dengan petani jika mereka dijauhkan dari
propaganda politik. Maka Belanda menjadikan mereka tunapolitik (dipolitisasi)
baik dari politik dalam negeri maupun luar negeri (pan Islamisme dari Timur
Tengah).
Dalam merealisasikan diagnosis
tersebut, SH menganjurkan untuk pemerintah Belanda menjalankan Dwikebijaksanaan
(twinn policies) yaitu menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak
dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melancarkan kegiatan politik dan
militer.
SH yang telah banyak mengetahui
tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang melawan ketakutan
Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara ralitas tempat di dalam
masyarakat Indonesia, SH selantunya menawarkan suatu sikap toleransi yang
dijabarkan dalam sikap nitral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu,
atas penjelan SH pemerintah Belanda memberikan "kebebasan beragama" termasuk
dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah.
Meski demikian, SH mengaskan bahwa Islam sama
sekali tidak bisa dianggap remeh baik sebagai agama maupu sebagai kekuatan
politik. Akan tetapi, hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa
dilepaskan dari hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan kristen),
hal ini terlihat jelas pada hubungan Islam - kristen yang melatar belakangi
hubungan Indonesia-Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen
ternyata tidak mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama
dengan pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan
perlakuan yang berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.
Perlakuan yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat
Islam, umat Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisasi politik,
yaitu kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi[5].
hal itulah yang menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak
setuju dengan pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.
Mematahkan Ulama melalui Tanam Paksa
Untuk mencapai terget dari diagnosis
SH tersebut, Belanda memerlukan adanya kerjasama dengan masyarakat pribumi agar
misinya ini berjalan sesuai rencana, maka dalam hal ini SH menasehatkan supaya
Belanda menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan di Jawa memungkinkan untuk
tujuan tersebut, SH telah dibantu oleh situasi yang diciptakan oleh Gubernur
Jendral Van den Bosch (1830). Melalui sistem tanam paksanya, Belanda telah
berhasil melumpuhkan suplai ulama dan santri. Pangreh Praja yang merasa
mendapat keuntungan dari tanan paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah
ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.
Ulama dan santri yang bermata
pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah.
Sistem tanam paksa ini benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Seperti yang telah
digambarkan oleh Ronggowarsito “...ngeres macek sasambate tanpa uwis, uwas
kaworan maras” (keluh kesah tanpa sudah, khawatir dan takut silih
berganti). Pemelaratan petani Jawa Barat yang letak geografinya dekat dengan
Jakarta diperhebat. Belanda takut kepada ulama dan santri Jawa Barat yang
memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu
pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya kemelaratan
benar-benar menindih kehidupan petani muslim Jawa Barat, yang digambarkan dalam pribahasa Sunda ”nete
semplek nincak semplak, ngajuru dikebon tarum (segala usaha tidak berhasil,
kesedihan dan kesusahan bertimbun, sampai-sampai melahirkan pun di kebon tanam
paksa Nila).
b. Asosiasi kebudayaan
Dalam hal ini, menurut SH pertama,
Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin
politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan mempercepat proses
kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud teresebut pemerintah harus menghidupkan
golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang Islam[6].
Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia- Belanda,
hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan priyai yang selalu berdekatan
dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka menjabat sebagai pamog praja.
Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan
terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk merekrut
para santrinya sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam,
pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan bahkan
melindungi agama Islam[7].
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang
telah rusak kehidupannya, tidak mendapat pembelaan dari Pangreh Praja pada saat
itu. Raja-raja tidak mampu menolong rakyat. Mereka telah kehilagan syariat
Islam sebagai landasan hukum dasarnya. Ronggowarsito menggambarkan sebaga “Mangkaya
darajating Praja, kawuryan wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa
palupi” (kini tingkat derajat negara, tampak telah sunyi sepi, rusak
jalannya perundang-undangan, karena tanpa teladan)
Selanjutnya Ronggowarsito juga
memberikan gambaran tentang penguasa pribumi setelah lepas hubungannya dengan
ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya
penderitaan rakyat, antara lain dinyatakan sebagai berikut”Ratune ratu
utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, penekare becik becik,
parandane tan dadi, paliyasing kalabendu, malah sangkin andadra, rubeda kang
ngreribeti, beda-bed hardane wong sanagara” ( Rajanya (yang bertahta) raja
utama, patihnya patih yang sangat panda, para mentri bercita-cita sejahtera,
pegawai-pegawainya pun baik-baik, meskipun demiian tidaklah jadi penolaknya
ganggu, bertebaranlah loba angkara di seluruh negara).
Harry J. Banda menggambarkan kondisi
demikian dengan the Indonesian nobility, having lost their cultural and
politikal mooring, as result of Dutch conquest (bangsawan Indonesia telah
kehilangan tambatan budaya dan politik mereka, sebagai akibat penaklukan
belanda). Kondisi demikian ini menyebabkan kaum bangsawan yang kebanyakan
sebagai Pangreh Praja sangat membantu skema politik Islamnya Snouck Hurgronje.
Selain politik Islamnya, Snouck
Hurgronje juga didukung oleh lemahnya basis suplai ulama dan santri, seperti
dikemukakan diatas. Dan juga ditunjang oleh mengalirnya modal asing sejak
diciptakan undang-undang Bumi 1870. Politik permodalan yang demikian memang
untuk sementara telah berhasil menciptakan perubahan sosial di Indonsia.
c. Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah
Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga
Hindia Belanda menformalasikan pendidikan barat sebagai faktor yang akan
mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini SH sangat optimis bahwa Islam
tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat, dan ia menganngap agama
ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan
taraf kemajuan primbumi. Akan tetapi pada kenyataannya, ramalan SH tersebut
malah terbalik, hal itu disebabkan munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar
kepada umat Islam. SH ternyata juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam
menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri[8].
Sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar
ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
Selain itu, kesadaran bahwa
pemerintah 'Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang menjajah agama mereka
(khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat islam indonesia (kaum
santri) mengambil sikap anti Belanda. Pesantren yang pada waktu itu
merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji guru dari
pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri tersebut
dengan segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan identitas
keIslaman sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang
mengekang umat Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu
kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru agama
Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan
tugasnya sebagai guru agama[9].
Kebijakan ini menibulkan banyak
reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi maupun dari organisasi Islam seperti
Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh
pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan Islam swasta yang dianggapnya
mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda melarang mendirikan
sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini mendapat kritik keras
oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut mendukung protes tersebut
dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan surat-surat kabar saat
itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami proses alot, ordonansi
sekolah liar dihapuskan[10].
C. Upaya-upaya Depolitisasi Umat Islam Indonesia
Kepentingan Belanda di Indonesia
mendapatkan rintangan dari ulama, seperti yang telah dijelaskan diatas umat
Islam mampu menunda keinginan Belanda dalam mewujudkan sebuah pemerintahan.
Rintangan yang dihadapi Belanda terutama dalam perdagangan. Belanda melihat
kegiatan umat Islam yang memiliki dwifungsi sebagai pedlar missionaris
(da’i dan pedagang). Akibatnya usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman
dari umat Islam. Tidaklah mengherankan kalau Islam dijadikan senjata politik
dalam hal melawan Calvinisme VOC[11].
Dari kondisi yang demikian mengubah
fungsi pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a
centre of anti-Dutc sentiment (sebagai pusat pembangkit
anti-Belanda).oleh karena itu setiap perlawanan bersenjata terhadap Belanda tidak
dapat dilepaskan hubungannya dengan pesantren. Dalam hal ini Clifford Geertz
Menyatakan pada abad ke 19 saja Belanda menghadapi empat kali pemberontakan
besar dari kaum santri. Peperangan ini oleh ahli sejarah sering disebut dengan
perang Sabil (Holy War). Yaitu perang Cirebon (1802-1806), perang
Diponegoro (1825-1830) yang sering disebut sebagai perang Jawa Tengah yang
dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di bawah panji Islam, perang Paderi di
Sumatra Barat (1821-1838) sebagai akibat dari intervensi politik Belanda
terhadap perang adat melawan ulama, kemudian di Aceh (1873-1908) sebagai
pemberontakan santri terpanjang karena Belanda menghadapi santri Aceh sampai
akhir kekuasaannya[12].
Perlawanan
santri tersebut atau dikenal dengan perang sabil tidak hanya terjadi pada abad
ke 19 saja, menurut Harry J. Banda menyatakan bahwa partisipasi ulama dan
santri in berlangsung selama empat abad. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
Belanda meletakan sistem baru bagaimana mengeliminasi peran ulama yang sangat
dominan itu. Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan
melancarkan politik pengembangan agama Islam atau Kristenisasi. Namun gerakan
ini hanya mampu menarik suku-suku terasing masuk ke agamanya.
Dipolitisasi Ulama Desa
Ulama desa yang tunapolitik tidak
tahu tentang struktur pemerintahan diatasnya. Dalam hal ini A. Mansur
Suryanegara menyatakan kedudukan ulama dinilai benar-benar menyedihkan. Para
ulama Desa dan pengikutnya diputkan hubungan langsung dengan kalangan priyayi
atau bangsawan diatasnya. Mereka tidak lagi memiliki pengetahuan apapun tentang
struktur kenegaraan.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya
berita Nahdlatul Oelama yang memberikan gambaran betapa parahnya orientasi
ulama saat itu, seperti “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal
mengenal atau kurang rapat hubunganya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai
pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang
adakalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan lainnya.
disebabkan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak
mengetahui keadaan kehinaan Umat Islam yang diluar pagar rumahnya”. Ini
merupakan gambaran buruk dari ulama yang ada di pulau Jawa.
Lalu bagaimana keadaan ulama yang
ada di Aceh yang tidak mau menyerah kalah terhadap pemerintah kolonial?. Snouch
Hurgronje menganjurka untuk dilancarkan kebijaksanaan yang tanpa kenal belas
kasih terhadap para ulama. Belanda membuat ulama tidak mungkin lagi menjalankan
fungsi kepemiminannya dengan cara melancarkan serangan dan gangguan yang
meletihkan. Selain itu, juga menggunakan ulama bayaran. Ulama macam ini
dibelinya dan dipersenjatainya, kemudian ditugaskan untuk menyerang ulama-ulama
militan.
Namun dibalik tekanan pemerintah
Belanda yang terus melemahkan peran ulama, waktu yang tepat untuk mengadakan
perubahan akhirnya datang pula. Struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax
Neerlandica telah menumbuhkan efek yang menguntungkan umat Islam Indonesia.
Penderitaan yang diderita telah melahirkan persamaan nasib.
Para ulama mencoba menggerakan
masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam
pendidikan, juga memotivasi masyarakat untuk bangkit kembali di bidang ekonomi
perdagangan. Atas dasar inilah kemudian H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang
Islam (16 Oktober 1905). Setahun kemudian diubah menjadi Sarekat Islam.
Mencegah Asimilasi Pribumi-Cina
H. Samanhudi dalam usahanya
membangkitkan ekonomi perdagangan dan politik, tidak menempuh jalan membentuk
organisasi politik. Karena seperti yang telah kita ketahui kegiatan politik
dilarang oleh Pemerintah Belanda maka didirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) atau
Sarekat Islam (SI). Namun, ternyata Belanda melihatnya dari segi lain bahwa
dengan adanya organisasi atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina
persatuan sebagai cara baru dalam kebangkitan Islam. Apalagi selanjutnya SDI
membentuk kerjasama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing.
Sedangkan politik Belanda sejak abad ke 18,
berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Islam dengan Cina
akan mudah dujalinnya karena memiliki latar belakang sejarah yang memudahkan
kesatuan tersebut. Sebagai misal, hubunga Cina dengan umat Islam telah terjadi
pada abad ke 18, setelah Belanda melancarkan pembunuhan terhadap Cina (1740).
Peristiwa ini menumbuhkan hubungan baik dan bahkan beberapa Cina masuk Islam,
sehingga terjadi kerja sama dalam menyerang benteng benteng Belanda.
Kesatuan Cina dalam Susuhunan
Mataram yang disertai dengan masuknya Cina kedalam agama Islam, mengilhami
Belanda untuk melahirkan kebijaksanaan yang beruaha memisahkan asimilasi antara
Islam dengan Cina. Sehubungan dengan hal ini Furnivall menyatakan Cina, di satu
pihak, dicegah untuk mendapatkan monopoli atas tanah dan merampas tanah milik
orang-orang Jawa, dilain pihak suatu kemajuan asimilasi Cina pada masyarakat
Jawa akan melahirkan kesatuan masyarakat baru, dan hal ini berusaha dicegah
oleh Belanda. Kebijakan belanda yang mencegah terhadap asimilasi Cina pada saat
itu, mudah dimengeri karena pada saat itu juga Negara Cina sedang berusaha
menentang imperialisme Barat ini berarti jika Cina dan Masyarakat muslim
Indoneia bersatu akan mempercepat gulung tikarnya Belanda.
Kemudian di Negara Cina berkobar Revolsi
Cina, maka dengan berbagai provokasi Belanda berusaha menimbulkan pemberontakan
fisik antara Cina dan Umat Islam, dan pancingan ini berhasil melahirkan
pemberontakan anti-Cina di Solo. Malahan pemberontakan ini ditunjang oleh
Tentara Mangkuneran (1911).
Menurut Furnivall, Belanda telah
berhasil mengubah sikap Cina Indonesia sebagai penjaga setia terhadap agresi
dari daratan Cina. Kebijaksanaan mencegah asimilasi ditingkatkan dengan
menyamakan status kewarganegaraan Cina dengan Eropa. Dengan demikian Belanda
telah berhasil memisahkan Cina Indonesia yang dipelopori oleh Islam. Sekaligus
timbullah hubungan Cina-Belanda menentang perkembangan tuntutan Nasionalisme
Pribumi.
BAB III
SIMPULAN
Belanda datang ke Indonesia sekitar akhir
abad ke 16, empat aramada kapal Belanda dibawah komandu Corniles
Dehoutman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat
(pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596. Belanda sengaja berlabuh di Banten
karena dianggap tidak akan mempengaruhi Portugis di Malaka
Kehadiran Belanda mendapat
perlawanan dari umat Islam Indonesia terutama dari kaum Ulama dan Santri,
terhitung hampir empat abad Belanda mendapat perlawanan dari Umat Islam
Indonesia dan pada abad ke 19 Belanda mendapatkan empat kali perlawanan yaitu
Perang Cirebon, Perang Diponegoro, Perang Paderi dan Perang Aceh.
Perlawanan tersebut menuntut Belanda
untuk mengeluarkan kebijakan atas nasehat dari Snouck Hurgronje yang merupakan
seorang profesor Belanda yang didatangkan untuk mempelajari tentang Islam
Indonesi. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi, asosiasi keagamaan, asosiasi
kebudayaan dan asosiasi pendidikan.
Atas saran dari Snouck Hurgronje
pula Belanda menetapkan Politik Islam Belanda yang mendepolitisasi umat Islam
Indonesia. Ulama dan santri dijadikan tunapolitik dan didesak kehidupannya di
desa dengan menerapkan sistem tanam paksa karena kebanyakan dari ulama dan
santri merupakan seorang petani, Belanda juga berhasil menghancurkan mental
masyarkat Pribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Benda, Harry J. (terj), 1980,
Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta:
Pustaka Jaya
Nata, Abudin,2007, Sejarah
Kebudayaan Islam, Jakarta : Rajawali Press.
Suryanegara, Ahmad Mansur,1996
Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung:Mizan.
Suminto, H. Aqib,1996, Politik
Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.1995 Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,
Depdikbud.
Jurnal al-Hikmah,2009, Paratai
Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2
Josef
H. Wenas,2011, Identitas Politik Islam Hindia Belanda, dalam Opini
kompas.com http://www.kompasiana.com/roesdy/politik-islam-hindia
belanda_5500df21a333119a72512398
Rudi,
2012, Politik Hindia Belanda, diakses hari selasa 19 April 2016 dalam, http://kuberkaryaatasizinmu.blogspot.co.id/2012/01/remember-sejarah-hindia- belanda.html
Sibkii,
2013, Kebijakan Kolonial Terhadap Agama Islam, diakses hari senin tanggal 18
April 2016 dalam http://msibki3.blogspot.co.id/2013/04/kebijakan-kolonial-terhadap- agama-di.html
[4] Harry J. benda (terj), Bulan Sabit
dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta:
Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[10] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, hlm.
20-21.
[11] J.C. Van Leur, 1955. Hal 143
[12] A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, hal 24o
Komentar
Posting Komentar