Langsung ke konten utama

Resensi Novel Sangkakala di Langit Andalusia -- Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

  Judul               : Sangakala di Langit Andalusia Penulis              : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra Tebal                : xii+472 hlm Penerbit            : Republika Tahun Terbit     : 2 022 Cetakan            : ke- 1   Membaca novel ini membawa kita untuk kembali mengingat masa keruntuhan kerajaan Islam di Andalusia atau Spanyol. Penyampaian kalimat demi kalimatnya membuat kita merasakan bagaimana bergejolaknya suasana saat itu. Saat Andalusia beralih kekuasaan dan umat Islam harus berjuang bertahan hidup dan mempertahankan tauhid mereka. Novel ini mengisahkan perjuangan Rammar Ibnu Baqar. Seorang hafidz Qur’an terakhir di Andalusia yang harus memecahkan teka-teki cincin sebuah nubuat   yang bisa menyelamatkan umat Islam dari penguasa Andalusia saat itu. Perjalanan yang sangat berat dihadapi dengan kehilangan orang-orang yang di cintai satu persatu. Tidak mudah mengahadapi musuh apalagi dia adalah orang yang pernah ada di dekat kita. Kisahnya se

UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA BELADA, JEPANG DAN RI

PERKEMBANGAN UU AGRARIA DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN
MASA BELANDA, JEPANG, DAN RI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sejarah Agraris dan Maritim  Dengan Dosen Pengampu Suparman Jassin, M.Ag dan Widiati Isana, M.Ag.




Disusun Oleh :
Kelompok I SPI/IV-B

1.    Ibnu Hisyam Asyari                     NIM    : 1145010058
2.    Ilma Dianingrum                          NIM    : 1145010064


JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Tanah merupakan faktor pendukung utama kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.[1] Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuh kembang, sosial, politik dan budaya seseorang maupun suatu komunitas masyarakat.[2] Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika dijamah kolonial belanda dan setelah merdeka banyak diperbincangkan, entah dari sejarah filosofisnya atau dari segi berlakunya, indonesia telah banyak menuai “asam-manis” kerasnya kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Indonesia telah banyak melewati masa-masa yang sangat keras. Seperti masa-masa diberlakukanya Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan Indische StaatRegeling. Dan bahkan indonesia telah mempunyai undang-undang khusus tentang Agraria yaitu Undang-undang Pokok Agraria(UUPA), yang dimana UU itu muncul setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan, karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.
            Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870, dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yang dapat dilakukan di tanah-tanah bangsa Indonesia.
            Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan  tersebut dimuat antara lain:
1.    Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun,
2.    Persewaan tanah negara tidak dibenarkan,
3.    Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur,
4.    Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom,
5.    Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan,
6.    Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura,
            Dengan amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-55. Tangga1 24 September 1960 merupakan suatu tanggal yang penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut telah diundangkan dan mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n).
            Dengan lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA, maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Dengan hapusnya hukum Agraria Kolonial, maka merupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya bumi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri. Hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidak mempunyai jaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar tanahnya dapat diberi perlindungan dengan hak-hak yang diberikan kepadanya.
            Hukum Agraria Nasional (UUPA) yang merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial bertujuan untuk memperbaiki kembali hubungan manusia Indonesia dengan tanah yang selama ini sudah tidak jelas lagi. Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang disebut Agraria?
2.      Bagaimana Perkembangan UU Agraria?
3.      Bagaimana Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda?
4.      Bagaimana Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang?
5.      Bagaimana Kebijakan-kebijakan pada Masa RI?

C.     Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.      Mengetahui Arti Agraria.
2.      Mengetahui Perkembangan UU Agraria.
3.      Mengetahui Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda.
4.      Mengetahui Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang.
5.      Mengetahui Kebijakan-kebijakan pada Masa RI.






























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agraria.
            Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.[3] Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.             Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
            Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
            Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian demikian.
            Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria.      Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
            Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
            Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggarakan antar lain fungsi : Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengan adanya fungsi koordinasi  Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
            Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.
            Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
            Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
            Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak ekslusif  atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun  1973)(LN. 1973-1, TLN 2994).
            Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
            Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi disebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46).
            Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air tersebut  perilaku dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif, yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluas 200 mili laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya dan air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
            Sementara, A.P. Perlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
            Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian ruang  dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
B.     Perkembangan UU Agraria.
ü  Sebelum indonesia merdeka
            Masa Sebelum Agrarische Wet
            Konflik pendekatan antara golongan Liberal dan Golongan konservatif dibelanda mengakibatkan raja mengeluarkan inruksi pada Gubernur Jendral utuk malakukan suatu survey dijawa, pada tahun 1870 (hasil survey tahnah dijawa belum disusun), pemerintah belanda mengeluarkan Agrarische Wet yang isinya menekankan pada dua hal: dimungkinkannya peusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan diakuinya eksistensi tanah-tanah pribumi  atas hak adat mereka.[4]
            Kaum liberal menekankan perlunya perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.[5] Kaum konservatif menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.[6]
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalah-masalah Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencita- citakan pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah oleh orang Eropa.[7] Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun, dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.[8] Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini.
            Sampai dengan awal abad ke-19 kebijakan Agrarische Wet tidak berubah secara mendasar, pemerintah hanya mnegeluarkan aturan sewa tanah tahunan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu. Tujuan kelompok Liberalisasi adalah:[9]
1. Agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai Hak milik mutlak, (eigendom), yang memungkinkan penjualan dan penyewaan karena tanah-tanah dibawah Hak komunal tidak diperkenankan untuk          dijual atau disewakan
     keluar;
2. Agar denagn asas domein, pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan muah yang nantinya diberikan hak erfpacth.
            Agrarisce Wet adalah suatu Undang-undang (yang dalam bahasa belanda kata “Wet” berarti Undang-undang) yang dibuat dinegeri Belanda pda taun 1870, Agrarisce Wet diundnagkan dalam S-1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pda pasal 62 regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854, semula terdiri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan 8) Oleh Agrarisce Wet, maka Regerings Reglement terdiri atas 8 ayat.[10] Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit atau Perpu) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie.
            Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya. Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hak- hak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
            Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal pertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Di dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan- batasan. Persekutuan mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan. Setiap anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya.
            Pada masa penjajahan jepang, Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda.[11] Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.[12]
            Dalam pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan  bahwa untuk sementara waktu dilarang keras memndahtanankan harta benda yang tidak bergerak, suat-surat berharga, uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan tidak mendapat izinterlebi dahulu dari tentara Dai Nippon[13]. Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosyadimana tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan ata dasar hak-hak pertuanan.[14]
            Masa Agrarische Wet
            Domain Verklaring
            Ketentuan Agrariasche Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantara yang perlu dibahas adalah suatu koninklijk belsuit  yang dikenal dengan sebutan Agrarische belsuit. Ini diundangkan dalam S.1870-118.[15]
            Agrarische belsuit hamya berlaku dijawa dan madura, maka apayang dinyatakan dalam pasal 1 yag berbunyi”dengan tidak mengurangi berlakunya ketenyuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap diperahankan asas semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein(milik)negara.”.[16] ini dikenal dengan sebagai domein Varklaring (pernyataan dmein) semula juga berlaku ntuk jawa dan madura saja, tetapi keudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung diluar jawa dan madura, dengan suatu ordonansi yang diundanglan dalam S.1875-119.[17]
            Teori domein ini menciptakan hak-hak barat tertentu, seperti hak eigendom, hak opstal dan hak erfpacht, namun juga membiarkan hak-hak adat terus berlanjut sehinga dijawa khususnya terdapat bermacam-macam hak yaitu hak milik adat, hak milik individu, hak milik yang ddasarkan pada agrarische eigendom, hak milik yang diberikan oleh pemerintahan belnda pada pribum ,hak milik kerajaan hak milik sewa, membangun menusahakan hak-hak milik orang lain serta hak-hak atas tanah pemerintah yang dikuasai oleh orang-orang asing asia(china yang berlokasi di jakarta,karawang dan bekasi)[18]
            Dalam praktek pelaksanaan perundang-undangan pertahanka domein verklaring,yang berfungsi:
1.         Sebagai landasan hukum begi pemerintah yang diwakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah denagn hak-hak barat ang datur dalam KUHperdata, seperti hak efparth, hak opstal dan lain-lainya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik negara kepadapenerima tanah.
2.         Dibidang pembuktian pemilikan.
            Pada tahun 1874 pemerintah mengeluarkan Staadblad nomor 97 yang menetapkan bahwa tanah-tanah dalam kekuasan desa adalah tanah penggembalaan bersama, tanah untuk usaha pertanian penduduknya secara terus-menerus, tanah ntik kepentingan umum, selain tanah-tanah itu , ketika akan dipergunakan seharusnya dengan izin pemerintah. Dalam kenyataanya, staadblad ini menimbulakan berbagai pertentanga. Denagn adanya berbagai pertentanagn tersebut, pemerintah akhirnya hak-hak pribumi atas kepemilikan sebidang tanah yang berasal dari pegolahan atau pengambilan hasil hutan denagn cara diakui dan distujui oleh para tetngga, kepala desa dan residen. Mulai saat itu terjadi penguatan konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah mengenai tnah-tanah hak milik dan hak ulayat.[19]
            Lalu pada masa itu juga ada yang disebut tanah-tanah Landerijenberzitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut sebagai tanah-tanah tioghoa,[20] karena subyeknya terbatas pada golongan asia timur teruta aorang cna, para golongan itu banayak mempunyai tanah di sekitar jakarta, katawang dan bekasi yang disebut “tanah pertikelir”  denga “hak usaha”, seperti hak orang-prang pribumi jikatanah partikelir yanbersagkutan kembali kepada negara, mak ahak usaha yang memegang hak menjadi hak milik adat, yan subyeknya timur asing, semula apa yang menjadi disebut “altijddurende erfpacht”, kemudian dengan S.1926-121 menjadi Landerijenberzitrecht pada hakikatnya hak ini tidak berbeda dengan hak mlik adat.[21]
            Kemungkinan bagi non pribumi untuk memperolah tanah hak adat dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dikenal sebagai larangan pengasingan tanah(ground vervreemdingsverbod) yang diundangkan dalam S.1875-179, yang menyatakan bahwa “hak milik adat atas tanah olen orang-orang pribum tidak dapat dipindahkan kepada orang non pribumi”, oleh karena itu semua perbuatan yang bertuajan untuk secara lagsung ataupun tidak secara langsung memindahkanya adalah batal karena hukum.[22]
ü  SETELAH INDONESIA MERDEKA
Masa Sebelum terbentuknya undang-undang pokok agraria(UUPA)
            Pada periode setelah indonesia mereka yaitu setelah pendudukan jepan berakhir diindonesia, banyak produk hukum legislasi yang dikeluarkan termasuk produk hukum gararia, nasional. Produk hkum agraria tersebut dapat dikerjakan dalam waktu yang snagat panjang pada periode ini baru selsai  setelah terjadi perubahan sistem politik atau periode sedudahnya.[23]  Hukum agraria produk hukum ada janman kolonial memilik karakter ekploatif, dualisik dan feodalik.[24] Terutama adanya asas domein varkring yang menyertainya, sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, oleh karena itu timbl tuntutan segara diadakan perbaharuan hukum agraria.[25]
            Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya serta menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara lain:
1.      Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah.
            Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33(3) Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negaral, agar dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan hak warga Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1 tahun undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkana penyerahan hak pakai buat lebih dari setahun dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria.
2.      Penguasaan Tanah-Tanah
            Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas (vrijland'sdomein). Pada jaman penjajahan Jepang untuk memperlancar usaha-usaha rangan-maka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi atau departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana yang dikehendakinya bahkan banyak pindahtangankan atau diterlantarkan. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.
3.      Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
            Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di kwatirkan keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan. Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.
4.      Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir
            Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam landasan ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan adanya kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang bertentangan itu antara lain pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. Oleh karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang inilah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal I UU No. I Tahun 58) Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :
1)      hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum.
2)      hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
3)      hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk.
4)      hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
5)      hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.
            Dengan dihapuskannya tanah-tanah partikulir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau bantuan lainnya. Berdasakan pada ketentuan dalam Pasal II aturan perlihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undnag-undang dasar ini”.[26] Maka peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat membuat produk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan.[27]
            Untuk memenuhi tuntutan tersebut pada tanggal 6 maret 1948. Presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan panitia tanah konvesi. Pada komisi ni lahir Undang-undang nomor 13 tahun 1948 yang mengahapus hak konversi, sementara sambil menunggu aturan lebih lanjut meka pemerintah mengeluarkan ndang-undang darurat  nomor 6 tahun 1951. Tentan perubahan peraturan persewaan tanah rakyat, kemudian undang-undang ini dikukuhkan menjadi undang-undang no 6 tahun 1952. Kemudian pula dibentuk undang-undang nomor 1 tahun 1952 tertanggal 2 januari 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi undang-undnag nomor 24 tahun 1954 tentang pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan baran tetap lainya. Yang mempunyai titel menurut hukum eropa dan ditindak lanjuti denagn surat keputusan menteri kehakiman nomor JS.5/1/19 tanggal 7 januari 1952 serta tambahan lembaan  negara nomor 262.[28]
            Akhirnya di pertengahan tahun 1954 pemerinh indonesia dapat megeluarkan peraturantentang hukum agraria yaitu UU no 24 tahun 1954 tentang penetapan Undang-undang darurat tentang pemindahan hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainya yang tunduk pada hukum eropa. Undang-undang yang berhasil dibuat oleh pemerinah setelah merdeka sebelum lahirnya undang-undang pokok agraria (UUPA) antara lain:[29]
a.       UU no 13 tahun 1948 yang disempurnakan oleh UU no. 5 tahun 1950 tentang penghapusan hak konversi.
b.      Undang-undang nomor 1 tahun 1958 tetang tanah partikelir.
c.       UU no.6 tahun 1952 tentang perubahan persewaan tanah rakyat
d.      UU no.24 tahun 1954 tentang penambahan peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas tanah
e.       UU no 78 tahun 1957 penarika besanya canon dan cijns
f.       UU darurat no. 1 tahun 1956 tentang larangan dan penyesuaina pemakaian tanah tanpa izin
g.      UU no. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil
h.      Kepre no. 55 tahun 1955 dan undang-undang no. 7 1958. Dan masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria (UUPA)
            Sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau panitia yan diberi tugas menyusun dasar-dasar ukum araria yang baru, panitia tersebut diantaranya adalah:[30]
·           Panitia Agraria Jogja, dengan penetapan Presiden no. 16 tahun 1948, panitia ini menghasilkan 12 butir saran yang disampaikan kepada DPR bulan juli 1948;
·           Panitia Agararia Jakarta, 19 maret 1951 dengan putusan presiden no. 36 tahun 1951, panitia jogja dibubarkan dan digantikan oleh panitia jakarta yang dikuasai oleh Sarimi Reksodihardjo, wakil ketua sadjarwo, sarimin digantikan oleh singgih Praptodihardjo sehubungan diangkatnya menjadi gubernur Nusa tenggara. Panitia jakarta menghasil kan 5 kesimpulan;
·           Panitia Shuwardjodengan keputusan presiden no 1 tanggal 9 maret 1956 , panitia ini diberi tugas untuk mempersiapka  Rancangan undang-undang Pokok agraria.
·           Rancangan sunardjo, diajukan kepada DPR tanggal 24 april 1958 disebut rancangan sunardjo karena pada sat itu menteri agraria yang mewakili pemerintah mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR adalah sunardjo, setelah dibahas, DPR membentuk panitia Ad Hoc yang diketuai oleh AM.tambunan.
            Dalam pembahasan dan persetujuan RUU Agararia ini, yang diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh Haji Zainun arifin dalm sidang pleno 12 september 1960. Dalam pembahsan ini DPR hanya melakukan 3 kali sidang yaitu pada tanggal 12,13,14 september 1960 pagi, seluruhnya hanya diperlukan 6 jam saja pembicaraan , untuk periapan pembicaraan diperlukan seluruhnya lebih dari 45 jam, diantaranya lebih dari 20 jam untuk pertemuan informal diluar forum resmi sidang.
            Pengesahan, pengundangan dan berlakunaya pada hari sabtu tanggal 24 september 1960. Rancangan undang-undnag yang telah disetujua oleh DPR-GR tersebut disahkan Presiden soekarno menjadi undang-undang no. 5 tahun 1960.denagn peraturan dasar pokok-pokok agraria.[31]
            Masa diberlakukanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
            Tahun 1960 merupakan tahun keemasan bagi hukum agraria nasional, karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang nomor 5 tahun 1960 yang disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA yang memakan waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah pertanahan nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga dikeluarkan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September merupakan hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk mengatasi dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870 dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di Indonesia, sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960 telah dijalankan.[32]
            Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dicabut karena berunya Undang-undang pokok agraria, antara lain:
·      Seluruh pasal 51 IS.jadi juga termasuk ayat-ayat yang merupakan Agrarich Wet,
·      Semua pernyataan domein dari pemerintah hindia belanda
·      Peraturan mengenai Hak agrarische Eigendom (S.1872-117 dan S.1873-38)
·      Pasal-pasal  buku ke II Kitab undang-undang hukum perdata sepanjang mengenai agraria.[33]
            Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.
            Masa Demokrasi terpimpin Masa Orde baru
            Program landreform memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah. Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi. Jatuhnya Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan landreform. Di bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan. Bahkan Presiden Soeharto sendiri menyatakan, ìPelaksanaan landreform harus berjalan terus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya diselesaikan pelaksanannya secepatnya”.
            Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini hanya sebatas pintu gerbang. Dalam praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai dengan arah politik pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari praktek-praktek pelepasan hak atas tanah dari rakyat petani kecil. Kini, ketika angin reformasi berhembus, ketika Orde Baru tumbang, kaum petani kembali ambil suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang dulu diambil dalam gerakan reclaiming. Tidak jarang reclaiming tersebut dibarengi dengan ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.
            Masa Reformasi
            Momentum tersebut semakin menggelinding dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selanjutnya pidato politik Presiden RI pada 31 Januari 2007 tentang reforma agraria menyebutkan bahwa program reforma agraria dilakukan secara bertahap dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin. Menurut SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato Politik Presiden 2007).
            Selanjutnya BPN-RI mengusung sebuah program yang disebut dengan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi, 2007).Namun program yang telah dicanangkan sejak 2006 tersebut hingga akhir 2008 ini belum juga terealisasi. Peraturan Pemerintah yang diharapkan menjadi payung hukumnya juga belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi permasalahan isi materi tentang alokasi yang adil bagi petani miskin. Reforma agraria yang disampaikan oleh SBY tersebut masih pada retorika politik yang belum menunjukkan tanda-tanda realisasi.Kekhawatiran para penggiat reforma agraria adalah bahwa kekuatan neoliberalisme di negara kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah semakin meresap ke dalam sistem kita. Reforma agraria yang bernafas populis dan berpihak kepada rakyat dianggap tidak mencerminkan negara yang menjunjung tinggi liberalisasi ekonomi. Watak era sekarang sama dengan orde baru, aroma kental kepentingan modal (kapitalisme).
Saat ini petani yang memperjuangkan tanahnya rentan untuk dikriminalisasi oleh negara karena dianggap melanggar UU No.18 Thn. 2004 tentang Perkebunan. Untuk Sumatera Utara saja kriminalisasi terhadap petani antara lain terjadi pada kasus ditahannya 29 warga Banjaran Secanggang Langkat pada Juni 2008 lalu, kriminalisasi terhadap para petani di Pergulaan Serdang Bedagai, kriminalisasi terhadap petani di Maria Hombang Simalungun.
            Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
Ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.
Harapan tentang reforma agraria yang sejati tentunya masih menjadi cita-cita bersama yang harus juga didorong secara bersama-sama. Niat baik negara masih terus ditunggu untuk secara bersungguh-sungguh dalam menjalankan janji-janjinya. Bersungguh-sungguh berarti benar-benar memberikan keadilan bagi para petani miskin yang tidak memiliki tanah sebagai alat produksi.
C.     Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda.
            Sebagaimana yang dilansir oleh para sejarawan pada umumnya, banyak negara di Eropa pada abad XVI dan XVII mulai menemukan bentuk dan identitas nasionalnya. Salah satu prasyarat bagi tegaknya identitas nasional suatu negara (bangsa), adalah memperkuat kedudukannya di dalam negeri yang diwujudkan serta sedikit banyak ditentukan oleh hubungannya dengan luar negeri atau negara lain. Senada dengan itu, pada abad yang sama rute perdagangan internasional pindah dari laut Tengah ke samudra Atlantik dan yang pertama mendapat kesempatan untuk itu yakni Spanyol, Belanda dan Inggris. Raja-raja penganut paham merkantilisme yakni Karel V (Spanyol), Ratu Elizabet (Inggris), Prins Maurits (Wali negara Belanda) dan disusul Louis XIV (Prancis). Tampillah mereka sebagai mercusuar pada masanya, yang ditandai dengan mengalirnya kekayaan logam mulia ke Eropa.
            Belanda yang pada saat itu terlibat dalam kompetisi perdagangan internasional dituntut untuk tetap eksis, dan ekspansi serta imperialisme merupakan syarat mutlak yang mereka harus tempuh. Singkat cerita, ekspansi barat sejak abad ke-15 memunculkan Belanda dengan VOC-nya sebagai pemegang hegemoni politik di Nusantara (Kartodirdjo, 1993). Kehadiran VOC inilah yang telah menimbulkan berbagai problema, serta merusak sendi-sendi hukum agraria di Indonesia (Parlindungan, 1993: 56).
            Verenidge Oost Indisch Compagnie (VOC) yang didirikan sejak 1602 sebagai sindikat dagang Timur Jauh, inilah yang berfungsi sebagai wadah yang diberi wewenang untuk mengatur perekonomian dalam persaingan di pasar internasional (Eropa). Berbagai kebijakan segera muncul untuk mengatur roda perekonomian di tanah jajahan, sehingga sindikat dagang ini seakan tampil sebagai “state in state” (negara dalam negara).
            Pada awalnya mereka hanya tertarik untuk berdagang, sehingga sasaran utamanya hanya terbatas pada kota-kota pelabuhan (daerah pantai). Pada tahun 1660 Maluku berhasil dikuasai, sehingga raja-raja diwajibkan membayar upeti. Namun demikian, permintaan pasar dunia yang semakin meningkat, mendorong mereka untuk mengembangkan sektor pertanian dan akhirnya daerah Jawa, Madura Sumatra Timurlah yang menjadi sasaran dan perioritas untuk mengembangkan usaha perkebunan. Ricklefs dalam bukunya “A History of Modern Indonesia (1981: 119)” menjelaskan bahwa pada tahun 1859, terdapat sekitar 17.285 orang Eropa di Indonesia, dan pada tahun 1900 melonjak menjadi 62.477 orang.
            Data tersebut menunjukkan bahwa dalam aktivitas perekonomian masa itu, peranan orang-orang Eropa di Hindia Belanda (Indonesia) menjadi sangat penting. Bahkan keterlibatan dan intervensi lebih jauh dalam aktivitas perekonomian (perdagangan), semakin nyata tatkala sindikat perdagangan bernama VOC mendukungnya. Mengetahui peran penting VOC dalam aktivitas perdagangan, sangat penting karena melalui peran itulah juga menjadi dasar penetapan berbagai kebijakan politik dalam bidang agraria.  
1. Masa Kekuasaan VOC
            Masuknya penjajah Belanda dengan sistem perkebunan barunya berciri usaha pertanian besar dan kompleks, padat modal, teknologi modern dan berorientasi komersil, membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa. Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional menyebabkan kolonial Belanda mengadakan perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-rempah, tetapi juga kopi di Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa Timur (Mubyarto, dkk., 1992).
            Dalam menjalankan pemerintahan di tanah jajahan, kolonial Belanda memberlakukan politik monopoli dan pungutan paksa melalui dua cara. Pertama, Contingenten yakni pajak yang harus dibayar secara innatura dengan hasil bumi. Kedua, Verplicte leverentien yakni hasil bumi yang disetorkan sesuai dengan kontrak yang ditetapkan oleh VOC (Mubyarto, Dkk., 1992: 30). Pola-pola pemilikan tanah dan penguasaan tenaga kerja pun tampak menjadi bagian integral yang menyatu dalam pelaksanaan program-program VOC. Karena itu, demi eksisnya  pertahanan VOC di Indonesia, maka ia mulai membuat prasarana yang diperlukan seperti berupaya membangun benteng-benteng, loji, gudang penyimpanan hasil bumi, pabrik dan juga rumah tempat tinggal (Djuliati, 1991: 143).
            Dalam merealisasi keinginannya, untuk pertama kali VOC menuntut pengerahan tenaga rakyat dari para Bupati. Tenaga rakyat ini digunakan untuk menebang dan mengumpulkan kayu dari hutan jati. Blandbong adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut kerja wajib umum ini. Kerja sebagai blandbong hanya mendapat upah relatif kecil yang tidak sesuai dengan kerja yang harus mereka lakukan. Kerja wajib umum selalu dituntut oleh penguasa pribumi terhadap para sikep. Bahkan di beberapa wilayah, tuntutan terhadap tenaga kerja wajib tanam tidak saja didasarkan pada pemilikan tanah tetapi juga bagi mereka yang hanya memiliki rumah (numpang karang atau indung tempel) (Djuliati, 1991: 263). Kebijakan politik ini dalam versi Geertz (1963: 48-49) disebutnya “menumpangkan”, karena alasan bahwa yang dilakukan oleh Belanda dari tahun 1619 hingga masuknya Jepang tahun 1942 adalah mencari produk pertanian di Indonesia khususnya Jawa untuk dijual di pasaran dunia tanpa mengubah stuktur ekonomi pribumi secara asasi.
            Untuk memperoleh sebuah cinema-tografi mengenai kebijakan kolonial di sektor agraria, berikut diuraikan kondisi perkebunan pada beberapa wilayah di Indonesia: (1) di Maluku sumber cengkeh dan pala dibatasi serta diberikan hukuman kolektif bagi penyelundup dan diharuskan kerja rodi; (2) di daerah lada seperti Banten, Lampung dan Sumatra Tengah diadakan perjanjian dengan raja di kota-kota pelabuhan untuk menetapkan kuota berikut harga ditetapkan oleh VOC; (3) di tanah pegunungan Priangan dibuka kebun-kebun kopi dengan menggunakan bangsawan sebagai kontraktor untuk menyediakan buruh; (4) di daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk daerah-daerah pantai, terdapat hampir 100 buah tanah sewaan yang dikelola oleh pegawai setempat (yang diangkat oleh VOC); (5) pemilik perkebunan hampir semua perkebunan yang punya hak istimewa sebagai tuan besar atas penduduk desa; (6) di Jawa Tengah yang baru setengah takluk oleh VOC, mengenakan pajak sederhana berupa padi, kayu, katun, benang, kacang-kacangan, dan uang (Ahmadin, 2001: 23; Mubyarto, dkk, 1992).
            Perluasan areal perkebunan beserta variasi tanamannya inilah yang menjadi awal pemicu lahirnya dualisme ekonomi. Kalangan petani dengan paradigma konvensionalnya (ketentuan kepemilikan tanah berdasarkan adat) di satu sisi, dengan pemerintah kolonial yang modern (model Eropa). Kubu pertama (petani) dengan ciri ekonomi subsistensinya tidak setuju dengan masuknya pihak luar (Belanda) dengan ciri ekonomi berorientasi pasar (komersil). Kubu kedua yang berhaluan ekonomi liberal memaksakan kehendak kepada rakyat untuk menyiapkan tanahnya guna kepentingan penjajah.
            Clifford Geertz dalam bukunya “Involusi Pertanian” (1963), membagi pandangan mengenai pemilikan tanah menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia dalam”, beranggapan bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi, dan demi tanah setiap orang bersedia mempertaruhnya nyawa untuk mempertahankan tanah tersebut. Di sisi lain, beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa dan Madura) yakni kolonial beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis tanaman tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah milik umum, sehingga siapa yang mengolah (menanami) itulah pemiliknya.
            Perbedaan persepsi mengenai kepemilikan tanah inilah yang di kelak kemudian hari menjadi bom waktu yang siap meledak, seperti aksi protes berupa pemberontakan Ratu Adil, Perang Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, sampai kepada aksi protes dengan organisasi modern seperti pemogokan di Keresidenan Madiun, Keresidenan Yogyakarta, Keresidenan Pasuruan, dan lain-lain. Herman Willem Daendels (1808-1811) menetapkan ber-bagai kebijakan sebagai berikut: (1) meletakkan dasar pemerintahan dengan sistem barat, (2) pusat pemerintahan di Batavia, (3) di pulau Jawa dibentuk 9 keresidenan, (4) membentuk pengadilan keliling, (5) Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah Gubernemen (Mubyarto, 1992).
            Selanjutnya, pada masa pemerintahan Thomas Stamford Rafles yang menjabat selaku Gubernur Jenderal di Jawa dan sekitarnya pun menetapkan kebijakan berbeda yakni: (1) membagi Jawa menjadi 18 keresidenan, (2) para bupati dijadikan pegawai negeri dan gaji ditetapkan oleh pemerintah kolonial, (3) melarang pungutan paksa. Berbagai kebijakan pemerintah kolonial tersebut, rupanya mengalami kegagalan dan tidak mencapai target yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pegawai yang cakap, perekonomian desa yang belum memungkinkan untuk sistem penyewahan berupa uang, dan masih banyaknya kepemilikan tanah didasarkan pada ketentuan hukum adat.
2. Masa Tanam Paksa
            Kegagalan pemerintah kolonial dengan sindikat dagang VOC-nya dan kebijakan pungutan paksa bagi hasil pertanian, menstimulasi mereka untuk segera menemukan modus baru dalam upaya menstabilkan roda perekonomian. Masa tanam paksa berlangsung selama kurun waktu antara tahun 1830 hingga tahun 1870.
            Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Belanda, yang menyebabkan perkebunan-perkebunan negara menghasilkan bahan-bahan ekspor harus membuat Jawa menjadi sebuah jajahan yang menguntungkan. Pada tahun 1870 perkebunan-perkebunan ini diambil oleh penanam-penanam modal swasta Belanda (Onghokham dalam Sediono dan Gunawan Wiradi, 1983: 4; Onghokham, 1979).
            Kebijakan baru kolonial yakni sistem tanam paksa  yang memuat beberapa ketentuan: (1) penduduk desa diharuskan menyediakan 1/5 tanahnya untuk ditanami, (2) tanah yang disediakan untuk tanaman  dagangan dibebaskan dari pajak tanah, (3) tanaman dagangan diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, (4) wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk pengangkutan ke pabrik, (5)  penggarapan tanah diawasi langsung oleh kepala-kepala pribumi (Ahmadin, 2001: 32).
            Tanaman yang dipaksakan meliputi 2 kategori besar, yakni tanaman tahunan seperti tebu, nila dan tembakau yang ditanami secara bergiliran dengan padi dan tanaman keras (berumur panjang) yakni jenis tanaman yang tidak dapat digilirkan dengan padi (kopi, teh dan lada). Ketidak teraturan penanaman, menyebabkan 2 jenis tanaman mengembangkan dua gaya yang saling berpengaruh dan bertentangan dengan komunitas biotis yang sudah mapan. Karena, itu kesuburan tanah tidak dapat dipertahankan dan produksi hasil pertanian menurun.
            Dalam sumber lain, juga dijelaskan mengenai ketentuan kerja wajib yang diterapkan pada masa kolonial. Adapun mengenai jenis-jenisnya dapat dibedakan dalam 4 kategori: (1) kerja wajib umum (heerendiensten) meliputi kerja dalam pekerajaan umum, pelayanan umum dan penjagaan keamanan; (2) kerja wajib pancen (pancendiensten) khusus untuk melayani rumah tangga pejabat; (3) kerja wajib tanam (cultuurdiensten) tediri dari berbagai jenis kerja dibidang penanaman, pengolahan dan pengangkutan tanaman wajib; (4) kerja wajib desa (desadiensten, gemeentediensten) meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya (Djuliati, 1991: 98; Suhartono, 1991: 41).
            Upaya penerapan implementatif sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial, mereka menggunakan ketiga (1,2,3) jenis kerja tersebut. Mengenai mekanisme dari kerja wajib yang digalakkan tersebut, dapat dihubungkan dengan pola kepemilikan tanah. Sekadar diketahui bahwa pada masa itu,  tanah di seluruh wilayah kerajaan adalah milik raja. Karena itu,  dalam menjalankan pemerintahannya raja akan mengangkat sentana dan narapraja (priyayi) untuk membantunya (Suhartono, 1991 :27).
            Imbalan atas tugas yang dibebankan tersebut, yakni mereka akan memperoleh lungguh. Pada saat itu belum terdapat kejelasan pada pola pemilikan tanah. Ketentuan luas lungguh masih didasarkan pada jumlah penduduk (cacah) (Tjonronegoro, 1984 :5). Adapun pengelolaan lungguh diserahkan sepenuhnya pada para sikep. Seorang sikep disamping mempunyai kewajiban untuk membayar pajak juga harus menjalankan kerja wajib untuk kerajaan dan kepentingan bersama di desanya (Djuliati, 1991 :98).
            Keberadaaan seorang sikep  dalam sistem  ekonomi ini, yakni merupakan tulang punggung perekonomian desa. Karena itu, seorang bekel atau kepala sikep, akan bertindak sebagai penghubung antar sikep dengan para priyayi. Tugas seorang bekel antara lain mengumpulkan penyerahan hasil lungguh dan menarik pajak. Bekel menerima imbalan berupa hak mepergunakan 1/5 bagian dari sawah lungguh yang pada tahap selanjutnya menjadi sawah bengkok (Breman, 1986).
            Jenis kewajiban lainnnya disamping keharusan membayar pajak, yakni kewajiban menjalankan krigaji.  Dalam konteks ini diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan raja  (Djuliati, 1991: 105).  Jenis kerja wajib ini, dilakukan 5 (lima) hari sekali selama 5 (lima) jam.  Dalam menjalankan kerja  wajib, mereka disuruh membuat atau memperbaiki jalan dan jembatan, penjagaan rumah pembesar (kemit) yang dilakukan selama 2 minggu sekali, pekerjaan rumah tangga (ayeran), kerja membawa dan mengangkut barang dan orang (gladhag). Selain itu, ada pula gugur gunung yaitu pengerahan tenaga dari semua laki-laki dewasa untuk mengatasi keadaan bahaya/musibah yang diperkirakan dilakukan sebulan sekali. Jika upah harian diperhitungkan sebesar 25 sen maka wajib kerja selama tahun bernilai f 18,50 (Suhartono, 1991 :40).
            Mengenai dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem tanam paksa 1830-1870, dikemukakan secara bervariasi oleh para peneliti. Hal ini berangkat dari pemahaman dan sudut pandang yang berbeda sehingga hasilnya pun bervariasi.
            Pertama, Boeke (1980) menjelaskan bahwa: “… apa yang dianggap sebagai suatu ciri khas yang intrinsik dan tetap dari kehidupan ekonomi Indonesia (Timur) merupakan gejala yang pada dasarnya bersifat spiritual. Kondisi ini tercipta secara historis; ia tidak tumbuh dari hakekat jiwa timur yang tidak dapat berubah saat berpapasan dengan semangat dinamisme barat, melainkan tumbuh dari wujud politik penjajahan yang memberi tekanan secara politis pada pola pertanian tradisional Indonesia…”.
            Kedua, Clifford Geertz dalam buah penanya “Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia (1963: 97) menjelaskan bahwa : “… di bawah tekanan jumlah penduduk yang bertambah dan sumber daya alam terbatas, masyarakat Jawa tidak terbelah dua seperti yang banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang lainnya, yakni golongan tuan tanah besar dan golongan tertindas hampir seperti budak. Melainkan mempertahankan homo-genitas sosial dan ekonominya yang cukup tinggi, dengan cara membagikan kue ekonomi yang ada, sehingga lambat laun jumlah yang mereka terima oleh masyarakat. Proses seperti ini oleh Geertz disebut sebagai  kemiskinan ditanggung bersama (shared poverty). Masyarakat desa sebaiknya tidak dibagi dalam the have not dan the haves, tetapi golongan kecukupan dan kekurangan.
            Ketiga, Margo Liyon “Basis of Conflict in Rural Java” (1970: 13) menjelaskan bahwa: “…adalah mungkin bahwa rakyat umumnya mempunyai sedikit tempat (niche) dalam sistem itu dan bahwa suatu keadaan kemiskinan yang ditanggung bersama itu memang umum, namun kemiskinan dan kesulitan yang semakin meningkat pun menekankan perbedaan-perbedaan yang relatif kecil dalam tingkat sosial ekonomi desa”.
            Pada perkembangan selanjutnya, penderitaan rakyat Indonesia diiringi oleh munculnya kecaman berbagai pihak terutama bagi penganut faham liberal. Sistem monopoli dan kerja paksa dianggap tidak efektif tetapi sebaliknya menyengsarakan rakyat. Karena itu, berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam konsep kapitalisme liberal yang berkembang di Eropa, para petani diberi kebebasan menentukan usaha taninya dan pihak swasta diberi kelonggaran untuk berkembang di Indonesia.
            Tuntutan seperti inilah yang kemudian menjadi isi dari Undang-Undang Agraria (Agrarishe Wet) Tahun 1870, dengan berusaha melindungi hak-hak rakyat. Namun demikian, realitas justru sebaliknya membawa pada kerugian masyarakat yang ditandai oleh penyalah gunaan lahan. Berdasarkan catatan Geertz bahwa banyak di antara tanah-tanah subur yang seharusnya ditanami padi, justru digunakan untuk perkebunan tebu yang pada gilirannya tidak menghasilkan produksi secara optimal. Proses peningkatan tanpa mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Belanda inilah yang oleh Geertz dinamakan sebagai “Involusi Pertanian” dan Boeke menamakannya sebagai “Ekonomi Statis”.
3. Masa Faham Liberal
            Seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan akan hasil dari negeri jajahan, beberapa penganut aliran liberal rupanya sudah mulai memikirkan modus baru yang ditopang oleh premis bahwa  sudah saatnya para petani memperoleh kebebasan menanam atau menggunakan hasil tanamannya. Dalam pengertian lain bahwa, sekarang sudah tiba masanya diadakan perubahan sistem cara penyerahan paksa.
            Hal ini relevan dengan cita-cita Raflles yang mencoba untuk menghapus penyerahan paksa hasil tanah, penghapusan kerja rodi, mengurangi pengawasan yang dilakukan oleh Bupati, serta langsung mengawasi penyewaan tanah-tanah, tidak dapat dijalankan dengan baik bahkan mengalami kegagalan. Penggantian sistem penyerahan wajib menjadi pajak tanah masih mengalami berbagai hambatan seperti masih kuatnya hukum adat, belum terdapatnya pengukuran tanah dan belum dikenalnya ekonomi uang oleh penduduk (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991 :10).
            Dalam perkembangan selanjutnya, memasuki tahun 1870 dalam sejarah kolonial dikenal sebagai “zaman liberal” yang ditandai oleh ditetapkannya Undang-undang Agraria yang berisi larangan mengambil tanah penduduk dan membebaskan para pengusaha asing untuk menyewa tanah di Indonesia. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya preventif bagi timbulnya kekuasaan merampas hak milik atas tanah secara sewenang-wenang sekaligus merupakan awal lahirnya ide humaniter. Selain itu, ditetapkan pula bahwa tanah yang dibiarkan menganggur tanpa ditanami atau tidak digarap secara konstitusi adalah milik negara.
            Ketentuan mengenai pernyataan tanah negara ditetapkan dalam "Agrarisch Besluit” atau “Domein Verklaring” sebagai berikut: “semua tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh seseorang adalah tanah negara berdasarkan pasal 21 ayat 2 IS (Indische Staatsregeling). Peraturan ini berlaku untuk daerah gubernemen, sedangkan daerah swapraja berlaku hukum adat. Daerah swapraja yang dimaksudkan adalah Maluku, Sulawesi, dan Sunda Kecil. Status tanah negara dibedakan atas dua macam berdasarkan “Domein Verklaring” yakni: (1) tanah negara bebas (vrij staatsdomein) yaitu tanah yang tidak sama sekali dibebani hak seorang menurut hukum Belanda, (2) Tanah negara yang tidak bebas (orvrij staatsdomein) yaitu tanah yang dibebani suatu hak menurut hukum Belanda.
            Peraturan mengenai penggunaan tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang tercantum melalui Agrarisch Wet (pasal 21) Indische Staatregeling sebagai berikut: (1) Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, (2) dalam larangan tersebut tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa serta untuk mendirikan perusahaan-perusahaan, (3) Gubernur Jenderal menyewa tanah menurut undang-undang (tidak termasuk tanah penduduk asli yang telah digarap atau tempat ternak, (4) melalui peraturan tersebut dibuat tanah hak paling lama 75 tahun, (5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai penggunaan tanah melanggar hak-hak rakyat, (6) persewaan tanah rakyat asli diatur dalam undang-undang.
            Ditetapkannya Undang-undang Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan liberal, mempunyai tujuan sebagai berikut: (1) memberikan pengakuan kepada hak pemilik tanah oleh pribumi sebagai “hak milik mutlak” (eigendom), sehingga memungkinkan penjualan dan persewaan, (2) asas domein yang men-dasari undang-undang agraria itu, peng-usaha swasta diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan murah. Karena itu, ber-dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai kebijakan yang termaktub dalam undang-undang agraria (1870) pada tataran praktisnya hanya merupakan peraturan untuk melayani kepentingan pengusaha besar.
            Mengenai kondisi tanah selama 3/4 abad, digambarkan Hardjosudarmono (1970) sebagai berikut: (1) dari segi pemilikan tanah, dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan golongan petani tak bertanah, (2) dari keadaan itu penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah yang mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani sedang, pemilik tanah kecil, petani yang tak punya sawah.
            Meningkatnya perkebunan parti-kulir pada masa pemerintahan kolonial Belanda itu, melahirkan berbagai macam kebijakan. Ada 3 cara yang ditempuh oleh para pengusaha perkebunan untuk memperoleh tanah, yaitu: (1) dibebaskan dari segala biaya untuk keperluan pengukuran, biaya administrasi dan sebagainya, (2) diberikan 3 macam pinjaman tanah, perumahan dari perusahaan. Pinjaman untuk membayar tanah harga tanah besarnya 3/4 dari taksiran harga tanah, (3) diberikan bimbingan di bidang teknik, manajemen perusahaan, pemasaran hasil dan sebagainya oleh para ahli yang tergabung dalam komisi “kolonisasi”.
            Pada bulan Agustus 1899, Conrad Theodor van Deventer menulis artikel “Een Eereschlud” (Hutang  Budi) dalam majalah De Gids yang isinya menuntut agar kolonial Belanda memberikan ganti rugi terhadap kekayaan alam yang telah dieksploitasi sejak sistem tanam paksa (1867). Negeri jajahan menurutnya telah memperoleh keuntungan kira-kira sebesar 200 gulden. Pengakuan jujur atas hal ini merupakan suatu kehormatan, karena itu utang kehormatan hanya dapat dibayar dengan cara memperbaiki dan mem-perhatikan nasib negeri jajahan. Krisis ekonomi sejak 1885 menyebabkan kemiskinan dan penderitaan rakyat, karena itu sudah tiba saatnya untuk mem-bayar hutang budi tersebut. Menurut van Deventer bahwa pendidikan dan pem-bangunan ekonomi merupakan conditio sine qua non untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, karena melalui pendidikan Indonesia akan mampu mengurus kepentingan dirinya sendiri (Sulityo, 1995: 36).
            Tuntutan ini rupanya mendapat respon positif dari berbagai pihak, sehingga pada gilirannya melahirkan kebijakan baru berupa pengadaan fasilitas umum seperti irigasi, edukasi (lembaga pendidikan), perumahan, rumah sakit (poliklinik), dan sebagainya. Kebijakan  baru kolonial Belanda ini, dalam sejarah penjajahan Indonesia dikenal sebagai “politik etis”. Dalam perkembangan selajutnya, realitas menunjukkan bahwa politik etis ini justru dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja seperti fasilitas perumahan oleh para pengusaha per-kebunan. Sebaliknya, penduduk desa tetap hidup di bawah garis kemiskinan dan kelaparan. Timbulnya image negatif di kalangan masyarakat mengenai penyalahgunaan Undang-undang Agraria, pada gilirannya melahirkan aksi pemogokan pada berbagai pabrik gula di Jawa. Aksi pemogokan mencapai titik kulminasinya pada tahun 1920.
            Bukan hanya di negeri jajahan Belanda (Indonesia), pada tahun 1878-1895 pun terjadi aksi pemogokan di sebuah provinsi bernama Friesland dan sekitarnya di negeri Belanda bagian utara yang mayoritas kristen. Aksi ini oleh sejarawan dianggapnya sebagai pengaruh Marxisme yang berkembang di Eropa seperti Inggris, Jerman dan Perancis. Faham marxisme muncul sebagai reaksi atas praktek-praktek ekonomi liberal, karena kapitalisme dan ekonomi pasar dianggap menciptakan perbedaan ekstrem yakni kekayaan untuk kapitalis dan kemiskinan untuk buruh.
            Pada bulan September 1901 per-juangan golongan sosialis rupanya berhasil yang ditandai oleh munculnya pidato Ratu Belanda Wilhelm tentang “kewajiban luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat Hindia Belanda”. Seruan ini paralel dengan konsep Marxis bahwa sebagian keuntungan kapitalis adalah hak buruh, demikian pula kaum buruh yang telah banyak terlibat dalam proses produksi seharusnya memiliki hak yang lebih banyak. Munculnya ber-bagai pemogokan buruh sebagai gerakan sosialis, disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi pada saat itu.
            Pertama, Perang dunia I (1914-1918) meski tidak meluas di seluruh Asia, namun akibatnya terasa di seluruh dunia karena faktor-faktor produksi seperti barang, tenaga kerja dan modal banyak digunakan untuk kepentingan perang. Akibatnya, barang produksi untuk kepentingan sehari-hari berkurang sehingga terjadilah depresi ekonomi yang ditandai oleh mahalnya tekstil dan obat-obatan. Bila penawaran semakin ber-kembang dibandingkan jumlah per-mintaan, dalam teori ekonomi harga akan mahal. Karena itu, para petani dan pedagang yang hendak mendapatkan produksi dari Eropa terpaksa menaikkan harga barangnya. Kondisi ini pada gilirannya melahirkan inflasi yang semakin lama semakin tinggi.
            Kedua, makin banyaknya usaha-usaha Barat di bidang perkebunan menambah berat beban petani pemilik tanah. Fenomena ini juga diiringi oleh berakhirnya masa kontrak jangka panjang sejak 1891 (selama 30 tahun) pada tahun 1921 dan kontrak (25 tahun) sejak 1870 pada tahun 1920. Menjelang berakhirnya masa kontrak inilah, terjadi berbagai tuntutan hak kepada pemerintah yang melindungi para pengusaha pabrik atas perlakuan tidak adil dalam perjanjian sewa-menyewa tanah.
            Ketiga, depresi ekonomi juga diakibatkan oleh curah hujan yang tidak teratur sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan irigasi. Meskipun Tahun 1916-1917 curah hujan cukup, namun hujan terlambat sehingga praktis petani tidak dapat menanami tanahnya. Setelah menerima kembali tanahnya pada bulan Mei dari pabrik gula, petani di Yogyakarta tidak dapat menggarap tanah-nya karena 6 bulan kemudian baru turun hujan. Meski tahun 1917-1918 terjadi hujan sepanjang tahun, namun debit airnya sangat sedikit sehingga menimbul-kan konflik antara petani dan pemilik pabrik dalam hal pembagian air.
            Depresi ekonomi tersebut menyebabkan penderitaan rakyat semakin meningkat yang ditandai oleh terjadinya kelaparan di mana-mana yang diiringi oleh berjangkitnya aneka penyakit. Melalui sebuah Jurnal “Sri Mataram” sebagaimana dikutip oleh Sulityo (1995) dijelaskan mengenai laporan dokter di Jawa bahwa pada tahun 1919 sebanyak 1.197.000 jiwa meninggal karena terserang penyakit beri-beri, TBC dan influensa. Reaksi dari berbagai tempat pun kemudian muncul seperti pemogokan Keresidenan Madiun, Pasuruan,  Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan beberapa tempat lainnya. Terjadilah pemogokan umum pada seluruh pabrik yang berjumlah 72 buah di Jawa, dan barulah kemudian berangsur-angsur surut setelah kondisi sosial ekonomi mulai sinkronis.
D.    Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang.
            Seperti kata pepatah lama “keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”, penderitaan rakyat akibat penyalahgunaan tanah pertanian oleh pemerintah Jepang kian menjadi-jadi. Sebagaimana telah dijelaskan pada permulaan tulisan ini, bahwa kondisi politik sangat menentukan bagi keadaan tanah. Penjajah Jepang dengan kepentingan berbeda, memperioritaskan tanaman pada komoditi yang berbeda pula. Jika penjajah Belanda memusatkan pada penanaman tembakau, rempah-rempah, kopi, tebu karena permintaan pasar, Jepang sebagai penguasa baru dengan kepentingan baru pula memprioritaskan pada penanaman bahan pangan dan tanaman jarak. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan bahan makanan saat perang melawan sekutu.
            Berdasarkan keterangan Tauchid dalam Mubyarto (1992), bahwa petani harus melipatgandakan hasil bumi dan menyerahkan 20% hasil panennya kepada pemerintah Jepang untuk keperluan bekal perang. Namun dalam prakteknya, rakyat bukannya dituntut bekerja giat untuk setoran hasil pertanian, tetapi dituntut untuk membantu Jepang dalam kerja paksa (romusha) dan usaha pembangunan perlengkapan perang. Dalam usahanya menambah hasil bumi tanah pertanian rakyat diperluas berupa pembongkaran hutan dan tanah-tanah onderneming untuk keperluan peningkatan hasil pangan. Kondisi ini membawa bagi rusaknya tanah dan menyebabkan menurunnya produksi perkebunan.
            Melalui sumber yang sama dijelaskan bahwa tanah partikulir pada masa Jepang tidak ada yang dibeli kembali. Badan khusus segera dibentuk untuk mengatur dan menentukan status tanah peninggalan penjajah Belanda. Kantor yang menangani masalah tanah dinama-kan “Syiichi Kanri Kosha” (Kantor Urusan Tanah Partikulir). Dalam menjalankan fungsinya, kantor ini seolah-olah berfungsi mewakili kekuasaan pemerintah sehingga tampak tanah partikulir dikuasai oleh pemerintah, sedangkan tuan tanah tidak berkuasa lagi (Mubyarto, 1992: 50)
            Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa kebijakan penjajah Jepang seperti halnya Belanda bermuara pada upaya menarik keuntungan sepihak. Kantor yang dibentuknya sebagai sarana untuk mengatur perekonomian, pada dasarnya merupakan topeng siluman untuk melindungi wajah sebenarnya dari niat jahat mereka. Hal ini dapat dibandingkan dengan kantor dagang VOC milik Belanda, Undang-undang Agraria (Agrariche Wet) Tahun 1870 yang dijanjikan akan memperbaiki kondisi ekonomi petani, justru melahirkan keuntungan sepihak (penjajah).
            Dalam sumber lain dijelaskan bahwa pada bulan Mei 1943, Kolonel Namura (Panglima Militer Jepang di Sumatera Timur), pernah menyerukan kepada sekelompok kecil administratur ordeneming terkemuka supaya memberi-kan laporan mengenai berbagai industri mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan untuk merencanakan manajemen perkebunan, selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Adapun tanggung jawab ini dilimpahkan kepada Noyen Renggo Kai yakni sebuah badan yang didirikan pada pertengahan tahun 1942. Badan ini mempunyai kantor besar di Medan dengan suatu staf kecil Jepang yang dibantu oleh penasihat-penasihat Barat (Pelzer, 1977: 152).
            Dalam perkembangan selanjutnya, pada penghujung tahun 1942 Noyen Renggo Kai digantikan oleh suatu badan administratif baru yakni Shonan Gomu Kumiai dengan kantor besarnya di Singapura. Perubahan fundamental pun terjadi, yakni para penghubung Barat lalu digantikan oleh suatu group manajer Jepang yang masing-masing diberi tanggung jawab untuk beberapa per-kebunan (Pelzer, 1977: 153).
            Meskipun demikian, perubahan mendasar terkait dengan kondisi tanah pertanian kemudian menjadi ciri masa pendudukan Jepang. Banyak di antara tanah subur yang mendapat perawatan intensif pada masa pemerintah kolonial Belanda menjadi rusak. Betapa tidak, pada akhir tahun 1943 beberapa kebun digunakan sebagai lahan untuk menanam jenis tanaman padi, jagung, kacang-kacangan, dan jenis tanaman industri yang diperlukan Jepang (Ahmadin, 2001: 35). Dalam catatan Pelzer (1977) juga dikemukakan bahwa: 
            Selama orang-orang Eropa tetap tinggal diperkebunan-perkebunan itu meskipun mereka sedikit, selalu dapat ditemukan cara-cara untuk memelihara setidak-tidaknya beberapa bidang tanah yang paling terpilih. Tetapi setelah orang-orang terakhir ditawan pada tahun 1943, tanah tembakau itu kembali digunakan untuk penanaman sepanjang tahun, bukan hanya untukpadi, jagung dan tanaman pangan lain melainkan juga untuk serat, kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri lainnya yang berguna bagi Jepang. Ini tentu saja menghancurkan  sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya telah dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga menyebabkan kerusakan tanah yang berat pada semua perkebunan terutama perkebunan-perkebunan di tanah rencah dekat pantai.
            Uraian tersebut menunjukkan bahwa perubahan fundamental yang terjadi di bidang agraria pada masa pendudukan Jepang, yakni rusaknya beberapa jenis tanah perkebunan yang sebelumnya tergolong subur. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kecen-derungan penggunaan jenis tanaman pada lahan tertentu tanpa mereka mem-pertimbangkan aspek yang berhubungan dengan pemeliharaan kesuburan.
            Suatu kenyataan historis yang menarik untuk dicermati, yakni per-bedaan mendasar dari kedua penguasa yakni Belanda dan Jepang dalam hal kebijakan di bidang agraria. Dalam pengertian bahwa kondisi agraria dapat berubah secara signifikan, tidak hanya disebabkan oleh sebuah gejala alam atau natural factors. Akan tetapi, peran penguasa dengan jenis kebijakan yang diterapkan dapat menentukan seperti apa kondisi agraria pada lingkungan atau wilayah tertentu. 
E.     Kebijakan-kebijakan pada Masa RI
            Jatuhnya pemerintah Soeharto oleh gerakan reformasi, telah menjadi tonggak untuk melakukan tinjauan kritis (review) terhadap peraturan (agraria) yang dianggap sudah menyimpang karena dipergunakan sebagai instrumen kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan reforma agraria di Indonesia bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaharuan agraria dan pengelolaan SDA. Dalam ketetapan MPR tersebut dapat dijumpai arah kebijakan sebagai berikut:
1.      Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pengaturan perundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundangan yang didasarkan pada prinsip pembaharuan agraria dan pengelolaan SDA.
2.      Melakukan penataan kembali penguasaan, pemilihan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landerform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
3.      Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landerform.
4.      Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip Pembaharuan agraria dan pengelolaan SDA.
5.      Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik SDA.
6.      Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik SDA yang terjadi.
            Ketetapan MPR RI tersebut di atas memberikan arti penting bagi peraturan keagrarian di Indonesia pada masa mendatang, mengingat ketentuan tersebut kedudukan sebagai:
1.      Arah kebijakan strategis dalam memberikan pengaturan dibidang agraria sehingga akan terjadi perubahan terhadap visi dan misi yang terkandung dalam ketentuan agraria yang ada selama ini. Dengan perkataan lain, melalui ketetapan MPR ini telah lahir politik hukum agraria yang lebih manusiawi.
2.      Dasar validitas atau kebasahan bagi peraturan hukum agraria di Indonesia artinya ketentuan hukum agraria yang ada harus bersumber dan sesuai dengan substansi yang terkandung dalam Tap MPR tersebut.
            Tentu dengan lahirnya ketetapan MPR RI tersebut, bukan berarti kegiatan reforma agraria telah mencapai tujuan akhirnya. Lahirnya ketetapan tersebut memberikan dasar bagi semua pihak untuk terus melakukan usahanya dalam mewujudkan lahirnya peraturan-peraturan baru untuk menggantikan peraturan yang ada sebelumnya. Ini merupakan pekerjaan besar yang memerlukan tanggung jawab bersama.









BAB III
SIMPULAN

            Masalah agraria di Indonesia sesungguhnya tidak bermula sejak masa kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu telah banyak persoalan terkait dengan sektor yang maha vital dalam kehidupan manusia ini. Tulisan ini menitikberatkan kajian pada masa kolonial dimaksudkan untuk memberi gambaran betapa sebuah kekuasaan politik sangat dominan pengaruhnya terhadap dunia agraris (sektor pertanian). Akibatnya, kekuasaan Belanda dan Jepang telah menjadikan rakyat dan tanah Indonesia sebagai tumbal ambisi kekuasaan.
            Meskipun demikian, di balik porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena ulah kaum kolonial, di sisi lain justru membawa efek positif. Sebut saja kedatangan kaum kolonialis yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap sebagai dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian (perkebunan) di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA
Ahmadin. 2001.  Masalah Agraria Indonesia: Konsepsi dan Sejarahnya. Makassar: Bahan            Mata Kuliah Jurusan Sejarah UNM.
_______. “Ironi Negara Agraris” dalam Harian Tribun Timur Edisi 12 September 2006.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
Breman, Jan. 1889. Menjinakkaan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di    Sumatra Timur pada Awal Abad ke-20. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Djojohadikusumo, Sumitro. 1989. Politik Agraria: Tanah, Rakyat dan Keadilan. Jakarta:   LP3ES
Geertz, Clifford. 1960.  Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:    Dunia Pustaka Jaya.
_____________. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media.
Onghokham. 1979. Perubahan Sosial di Madiun selama Abad XIX. Makalah disajikan dalam        Lokakarya Sejarah Sosial Ekonomi Pedesaan diselenggarakan atas Kerja Sama IPB-     SAE-Erasmus Universiteit.

Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.






[1] Winahyu Herwiningsih, menutip dari bukunya Rianto Bachiadi,et, al, eds, Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Diindonesia, FE UI, Jakarta, 1997, Hlm. 28-31
[2] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total media dan FH UII,Yogyakarta,2009,Hlm 1
[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
[4] Op.Cit, Hlm. 135
[5] J.S. Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London: Cambridge University Press, 1939), Hlm. 78-79. Dikuip juga oleh Mochammad Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952), Hlm. 63.
[6] J.S. Furnivall, Op.Cit. h. 164.
[7] Ibid. 164.
[8] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Hlm. 137.
[9] Boedi Harsono, Hukum agraria Indonesia, Jilid I, cetakan ke-12, Djambatan, Jakarta, 2008. Hlm. 33
[10] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
[11] Ibid. Hlm. 139.
[12] AP.Parlindungan, Benerapa masala dalam UUPA(Undang-undang pokok agraria), Mandar Maju, bandung 1993,Hlm. 43
[13] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai. Dikutip dari buku tuntunan bagi pejabat pembuat akta tanah ,  yayasan budaya bina sejahtera, jakarta 1981.Hlm 673.
[14] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.41.
[15] Ibid.Hlm.41-42.
[16] Ibid.Hlm. 42.
[17] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm 136.
[18] Ibid.
[19] Op.Cit. Hlm. 136-137.
[20] Gouw Giok Sioung(sudargo guatama), hukum antar golongan suatu pengantar, penerbit universitas,jakarta,1957
[21] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 53.
[22] Ibid.Hlm. 63.
[23] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 139.
[24] Moh. Mahfud MD, politik hukum diindonesia, Pustaka LP3ES indonesia,1998, Hlm.118.
[25] Op,Cit Hlm.139.
[26] Lihat UUD 1945
[27] Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai ... Op,Cit Hlm. 140.
[28] Ibid.hlm.141.
[29] Ibid.hlm. 144-145.
[30] Lebih jelas, Ibid.hlm. 145-150.  Atau Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm.125-130.
[31] Boedi Harsono, Hukum agraria,,Op.Cit.Hlm. 131-132.
[32] www.Legalitas.com
[33] Ibid.Hlm.134.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku "RENTANG KISAH" Gita Savitri Devi

Judul Buku      : Rentang Kisah Penulis             : Gita Savitri Devi Tebal Buku      : 207 Penerbit           : Gagas Media Tahun Terbit    : 2017 Gita Savitri Devi adalah seorang vloger yang banyak diidolakan oleh remaja Indonesia karena isi vlognya yang banyak menginspirasi, keluesannya berbicara di depan kamera dan juga karena konten-kontennya yang banyak mengkritik keadaan Indonesia menjadikannya mendapatkan tempat dihati masyarakat. Seorang lulusan Kimia Murni di Freie Universitat Berlin ini merasa risih melihat aktivitas media sosial pemuda Indonesia yang isinya kurang berfaedah, dia berusaha merubah hal tersebut dengan menjadikan media sosial untuk hal-hal yang positif. Selain aktif sebagai youtuber Gita yang masih betah tinggal di Jerman ini juga aktif menulis di blog. Buku Rentang Kisah adalah buku pertamanya, buku ini menceritakan perjalanan hidupnya dari mulai SMA hingga sekarang. Diawal bab, diceritakan bagaimana Gita di SMA dan juga hubungannya dengan s

Resensi novel TENTANG KAMU Tere LIye

Judul               : Tentang Kamu Penulis             : Tere Liye Tebal               : vi+524 halaman Penerbit           : Republika Tahun Terbit    : 2017 Cetakan           : ke-7             Tere Liye merupakan seorang novelis terkenal di Indonesia, novel yang diterbitkan selalu menjadi best seller dan tidak mengecewakan. Novel Tentang Kamu salah satu novel tere liye dari 28 karyanya yang juga best seller, sayangnya, walaupun novel-novelnya best seller Tere Liye memberhentikan penerbitannya karena pajak penulis yang tinggi, tapi tenang bagi penikmat tulisan-tulisan Tere Liye kita masih bisa mendapatkannya lewat e-book.             Novel Tentang kamu menceritakan seorang  pengacara asal Indonesia yang bekerja di Thompson & Co bernama Zaman yang kemudian mendapatkan tugas untuk mencari ahli waris dari seorang perempuan bernama Sri Ningsih yang memiliki jumlah warisan yang sangat banyak. Untuk menyelesaikan kasus ini zaman harus menelusuri kehidupan Sri Ningsih

Resensi Buku SECANGKIR KOPI JON PAKIR - Emha Ainun Nadjib

Judul               : Secangkir Kopi Jon Pakir Penulis             : Emha Ainun Nadjib Tebal               : 348 halaman Penerbit           : PT Mizan Pustaka Tahun Terbit    : 2016 Cetakan           : ke- 2 Buku Secangkir Kopi Jon Pakir jika dibaca sekilas kata Pakir ini seperti kata Parkir alhasil aku pertamanya berpikir kalau buku ini menceritakan tentang si Jon yang mungkin seorang tukang parkir. Namun setelah membaca isinya, ternyata nama pakir itu berasal dari bahasa arab yaitu Fakir yang menyesuaikan lidah orang Jawa. Buku ini merupakan buku yang dicetak ulang, cetakan pertamanya yaitu pada tahun 1992. Buku ini menceritakan kondisi sosial masyarakat pada masa itu yang dikemas dengan apik oleh Cak Nun (sapaan untuk Emha Ainun Nadjib). Dalam buku ini Cak Nun menamai dirinya sebagai Jon Pakir yang mengkritisi peristiwa yang terjadi disekitarnya. Secangkir Kopi yang disajikan disini bukanlah berupa air kopi tapi merupakan hidangan yang sangat bergizi untuk otak